Salin Artikel

September, Superego Anti-komunis, dan Politik Rekonsiliasi

PADA September setiap tahun ada fenomena yang menarik. Kerap kali beberapa pihak menghubung-hubungkan berbagai peristiwa sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi pada bulan tersebut dengan komunis atau Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dengan mudah pihak-pihak ini merangkai rantai hubung antara kedua hal itu. Padahal, peristiwa-peristiwa itu sama sekali tidak berhubungan dengan komunis atau PKI setelah aparat penegak hukum atau pihak lain menelusuri lebih dalam.

September 1965 memang merupakan bulan terjadinya penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa jenderal. Rezim politik Soeharto memberi label politik pada peristiwa itu dengan istilah “Gerakan 30 September/PKI”.

Pada tahun-tahun setelah labelisasi, politik operasi keamanan pun berlangsung. Perburuan, pembunuhan secara sepihak oleh aparatur negara, dan pemenjaraan terhadap orang-orang yang dianggap oleh rezim politik Orde baru sebagai anggota PKI.

Pada 1984 Orde Baru mengubah strategi. Labelisasi dan perburuan tidak terang-terang lagi. Jalan yang ditempuhnya adalah jalan kebudayaan. Memproduksi film “Pengkhianatan G 30 S/PKI” adalah wujud konkret spirit dan agenda politik kebudayaan anti-komunis.

Tak lama setelah rilis film besutan sutradara Arifin C. Noer itu, pada September setiap tahun lembaga penyiaran publik TVRI menayangkan film tersebut. Sepanjang masa kekuasaan Orde Baru, pada setiap malam 30 September, warga negeri ini duduk manis di depan televisi menonton film propagandis itu.

Superego anti-komunis

Film ini menjadi salah satu alat penyuntik spirit politik kebudayaan anti-komunis. Superego para penonton, terutama superego anak-anak remaja pada zaman kekuasaan Orde Baru pasca-produksi film, terisi oleh spirit politik kebudayaan anti-komunis.

Metode psikoanalisis merupakan salah satu cara yang cukup memadai untuk membaca film “Pengkhianatan G 30 PKI” sebagai alat penyuntik spirit politik anti-komunis.

Sigmund Freud melalui metode psikoanalisis memetakan tiga instansi psikologis manusia, yakni id, ego, dan superego.

Id merupakan instansi hasrat yang menggerakkan dimensi alamiah diri manusia. Ego merupakan instansi sadar, yang memproduksi pertimbangan-pertimbangan rasional manusia. Superego merupakan instansi yang berisi sistem nilai dan kepercayaan yang terbentuk oleh para pemegang orotitas.

Sasaran psikologis yang dituju film tersebut adalah superego diri manusia. Melalui film yang diproduksi oleh Perusahaan Produksi Film Negara (PPFN) itu, superego anak-anak dan remaja yang menonton film diisi dengan spirit dan sisitem nilai anti-komunis.

Spirit dan sistem nilai itu muncul dalam film melalui aneka perkataan, gerak-gerik, gestur tubuh, suara, tindakan para pemain. Setting lokasi dan waktu dalam film diatur sedemikian rupa supaya menampilkan semangat anti-komunis.

Visualisasi sadistik bertujuan menanamkan rasa benci dalam superego penonton. Demikian pula diksi-diksi yang diucapkan para pemain film, khususnya pemain yang berperan sebagai tokoh protagonist anti-komunis.

Jadi, film – khususnya film “Pengkhinatan G 30 S/PKI” merupakan sebuah politik kebudayaan anti-komunis atau anti-PKI. Superego manusia adalah sasaran psikologis dari film tersebut.

Tak terlalu mengherankan bila selama tahun-tahun pasca-Orde Baru pada setiap bulan September, ada beberapa pihak rajin menghubungkan peristiwa sosial, politik, ekonomi dengan komunis atau PKI.

Kebencian dan tuduhan tanpa dasar ke pihak lain sebagai komunis atau PKI adalah manifestasi atau ungkapan dari spirit politik kebudayaan anti-komunis yang mengerak dan mengarat dalam superego para perajin itu.

Bahkan, tuduhan dan penghubungan aneka peristiwa tersebut merupakan upaya memapankan dan mengamankan superego agar tetap berkarat oleh anasir-anasir kebencian dan politik anti-komunis.

Cara kerja superego anti-komunis tak mengandung rasionalitas. Ketiadaan rasionalitas itu karena superego berisi keyakinan dan sistem nilai anti-komunis serta phobia komunis, yang ditanamkan secara sepihak oleh para pemegang otoritas ke dalam diri orang-orang yang tak memiliki atau kekurangan otoritas diri.

Penanaman sepihak itu melahirkan ilusi dan phobia bahwa komunis dan PKI sudah bangkit lagi. Padahal tidak ada fakta dan argumentasi yang koheren-korespondensial mengenai kebangkitan komunis dan PKI di Indonesia.

Bahaya dari cara kerja superego anti-komunis secara sosial-politik adalah terjadi segregasi sosial dan praktik politik penuh kebencian dalam kehidupan bersama (publik) negeri ini. Hal itu juga menjauhkan politik dari tujuan dasarnya yakni sebagai upaya bersama warga bangsa ini untuk mewujudkan Pancasila demi kebaikan dan kesejahteraan bersama.

Superego yang demikian juga membelokkan kritik terhadap pengambil kebijakan publik menjadi kebencian terhadapnya.

Politik rekonsiliasi

Berpolitik secara rasional mesti diupayakan terus-menerus. Politik mesti dikembalikan ke makna dasar dan tujuan utamanya: upaya bersama untuk mewujudkan Pancasila. Dengan demikian, Pancasila menjadi sesuatu yang konkret dalam cara berpolitik setiap warga negara bangsa Indonesia.

Dalam konteks modus operandi superego anti-komunis yang terus berlangsung, politik rekonsiliasi merupakan salah satu jalan tempuh agar makna dasar dan tujuan utama politik tersebut dapat beroperasi secara konkret.

Peristiwa pada dini hari 30 September 1965 dan perburuan dan pembunuhan sepihak terhadap warga Indonesia yang dilabel sebagai komunis setelah 1965, merupakan luka sejarah yang mendera para warga negara-bangsa Indonesia.

Jika seseorang sadar sebagai warga negara-bangsa Indonesia, ia sadar juga bahwa ada luka sejarah itu yang menderanya. Dalam kesadaran yang demikian, antagonisme politik bukanlah hal yang tepat. Kawan-lawan politik adalah terminologi yang buruk dalam langgam politik Indonesia.

Sebaliknya, politik rekonsiliasi adalah mungkin. Menempuh jalan politik rekonsiliasi memerlukan kesiapsediaan mentrasformasi diri politis. Transformasi mewujud dalam bentuk: mengubah cara padang, membersihkan superego dari anasir-anasir kebencian dan dendam. Jalan politik ini mungkin karena setiap warga mempunyai kapasitas untuk mentransformasi diri secara politis.

Transformasi diri politis memerlukan pula kehendak yang kuat untuk mengolah diri sepanjang hidup. Pengolahan diri melalui tindakan-tindakan ini: pengakuan akan kesalahan, kesediaan diri menerima sanksi, permohonan maaf, dan janji untuk tak mengulangi kesalahan (bdk., Charles L. Grisworld, 2007). Inilah panggilan politis setiap warga negara.

Semua tindakan itu mengantar warga menjadi manusia publik: pribadi yang mampu berpolitik Pancasila. Dalam berpolitik Pancasila, setiap gerak dialektis politik bermuara pada sistesis politik, yakni pembaharuan terus-menerus demi kebaikan dan kesejahteraan bersama.

https://nasional.kompas.com/read/2020/09/17/13161321/september-superego-anti-komunis-dan-politik-rekonsiliasi

Terkini Lainnya

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke