JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang kasus dugaan pelanggaran kode etik yang melibatkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, akan diputus oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Selasa (15/9/2020) esok.
Sejumlah kalangan pun menilai bahwa Firli layang dijatuhi sanksi berat dalam perkara tersebut. Pasalnya, akibat penggunaan helikopter mewah untuk kepentingan pribadinya pada medio Juni 2020, Firli dinilai telah merugikan KPK sebagai lembaga negara.
Anggota Dewas KPK Syamsudin Haris mengatakan, sidang etik Firli sudah selesai dan tinggal putusan.
"Sidang putusan terbuka untuk umum," kata Syamsudin seperti dilansir dari Kompas.id, Senin (14/9/2020).
Saat Firli diperiksa, ia mengatakan, Dewas KPK tidak menghadirkan saksi. Selain itu, Firli juga tidak mau menggunakan pembelaan (pledoi).
Sanksi berat
Kasus Firli bermula dari laporan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) beberapa waktu lalu. Koordinator MAKI Boyamin Saiman menyatakan, pihaknya menyerahkan sepenuhnya keputusan atas kasus Firli kepada Dewas KPK.
"Harapannya, ya, Dewas menyatakan Firli terbukti melanggar etik dan dikenai sanksi mengundurkan dari jabatan Ketua KPK," kata Boyamin.
Menurut dia, sanksi tersebut dapat dijatuhkan karena Firli dianggap telah memperlihatkan gaya hidup mewah.
Hal senada pun disampaikan pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Menurut dia, sebagai lembaga antirasuah, KPK harus diisi oleh oleh orang-orang, terutama komisionernya, dengan standar moral dan integritas tinggi.
Sebab, sumber daya manusia tak hanya bertugas menjalankan tugasnya, tetapi juga menjadi telada bagi insan penegak hukum lain.
”Integritas dan standar moral yang tinggi menjadi sebuah persyaratan yang mutlak melekat pada pribadi komisionernya. Dengan perilaku yang bergaya hidup mewah (naik helikopter untuk kepentingan pribadi), maka itu jelas sebuah tindakan yang tidak etis,” kata Fickar.
KPK, imbuh dia, memiliki standar integritas yang tinggi sehingga bergaya hidup mewah merupakan pelanggaran etika berat dan cukup beralasan serta adil jika Firli dihukum dengan pencopotan jabatan.
Dalam peraturan Dewas KPK tentang etika telah diatur larangan gaya hidup hedonisme sebagai bentuk empati kepada masyarakat, terutama kepada sesama insan komisi.
Ia menegaskan, pelanggaran integritas sangat merugikan KPK sebagai lembaga negara yang artinya sama dengan merugikan negara.
"Kerugian dalam konteks etis itu tidak terbatas pada kerugian materiil, tetapi juga kerugian imateriil, dalam hal ini kerugian yang bersifat tidak nyata, seperti nama baik," kata Fickar.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan, dalam Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK Pasal 9 Angka (3) Huruf C disebutkan, "Dampak atau kerugian terhadap Negara termasuk Pelanggaran Berat".
Ia menjelaskan, dampak kerugian pada negara tidak hanya dari sektor ekonomi. Dewas KPK tidak dapat melihat kasus ini secara parsial. Sebab, apa yang telah dilakukan Firli telah menjatuhkan citra KPK.
Kurnia menegaskan, KPK merupakan bagian negara sehingga rusaknya citra KPK mengakibatkan kerugian terhadap negara.
Meskipun Firli berdalih perbuatan tersebut dilakukan saat cuti, hal tersebut tetap tidak bisa dibenarkan.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan, Ketua KPK menggunakan helikopter demi efisiensi waktu karena dia cuti hanya sehari.
Firli juga menepis tudingan bahwa dirinya bergaya hidup mewah dengan menyewa helikopter saat melakukan perjalanan di Sumatera Selatan, akhir Juni 2020.
Firli beralasan, penggunaan helikopter saat itu karena kebutuhan dan tuntutan kecepatan tugas. Dia juga mengaku membayar biaya sewa helikopter itu dari kantong pribadinya .
https://nasional.kompas.com/read/2020/09/14/17073591/diputus-besok-ketua-kpk-dinilai-layak-diberi-sanksi-berat