Pertama, karena Indonesia memerlukan aparat penegak hukum yang responsif terhadap korban kekerasan seksual.
"(Sehingga) penuntut umum dan hakim itu paham apa yang harus dilalui korban," kata Livia dalam webinar bertajuk 'Urgensi Penghapusan Kekerasan Seksual yang Komprehensif', Kamis (6/8/2020).
Kedua, yakni terkait bukti kekerasan seksual yang menjadi salah satu poin dalam RUU PKS.
Livia menilai, seharusnya surat dari psikolog dan dokter kejiwaan saja sudah cukup sebagai barang bukti.
Bukti berupa keterangan saksi korban juga dianggap Livia sudah cukup untuk membuktikan kesalahan pelaku.
"Dan ini kita juga di LPSK kami juga mendapati kasus banyak-banyak yang tiba-tiba SP3 atau yang tidak dilanjutkan karena masalah (bukti)," ujarnya.
Kemudian yang terakhir adalah, ketentuan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual agar hal serupa tak terulang kembali.
Ia mengatakan, rehabilitasi dalam RUU PKS tidak menjadi opsi selain hukuman kurungan, tetapi kewajiban yang harus dijalani selama menjalani masa pidana.
"Jadi bukan sebagai alternatif dari pemidanaan tapi selama pemidanaan itu perlu ada rehabilitasi itu supaya keberulangannya tidak," ucap dia.
Diberitakan sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR menggelar rapat evaluasi Prolegnas Prioritas 2020 dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Berdasarkan hasil rapat, ada 16 RUU yang ditarik dari Prolegnas Prioritas Tahun 2020, 4 RUU tambahan dari DPR dan pemerintah, serta 2 RUU yang diganti dengan RUU yang lain.
Salah satu RUU yang ditarik dari Prolegnas Prioritas, yakni RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Usulan penarikan ini sebelumnya diajukan oleh Komisi VIII.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/06/18353301/menurut-lpsk-3-hal-ini-jadi-alasan-mengapa-ruu-pks-perlu-segera-disahkan