Angka tersebut untuk rentang tahun 2016-2019.
Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih mengatakan, mereka yang merangkap jabatan ini juga terindikasi rangkap penghasilan.
"Hingga tahun 2019, ada 397 komisaris terindikasi rangkap jabatan di BUMN dan 167 komisaris di anak perusahaan BUMN," kata Alamsyah dalam konferensi pers daring, Selasa (4/8/2020).
Ia menuturkan, Ombudsman bersama KPK telah melakukan analisis terhadap data tersebut.
Alamsyah menjelaskan, mereka melakukan pendalaman atau profiling terhadap 281 komisaris yang masih aktif di instansi asal.
Hasilnya, sebagian dari komisaris yang rangkap jabatan itu berpotensi konflik kepentingan dan tidak memiliki kompetensi yang sesuai dengan penempatan.
"Berdasarkan jabatan, rekam jejak karier, dan pendidikan, ditemukan sebanyak 91 komisaris atau 32 persen berpotensi konflik kepentingan," terangnya.
"Sebanyak 138 komisaris atau 49 persen tidak sesuai kompetensi teknis dengan BUMN di mana mereka ditempatkan," imbuh Alamsyah.
Selanjutnya, menurut Alamsyah, isu rangkap jabatan di BUMN atau anak perusahaan BUMN ini masih terus hidup.
Ombudsman mencatat, beberapa perkembangan terakhir yakni adanya komisaris yang berasal dari relawan politik, dominasi jajaran direksi dan komisaris dari bank BUMN tertentu, dan penempatan anggota TNI/Polri aktif.
Kemudian, penempatan ASN aktif sebagai komisaris di anak perusahaan BUMN dan pengurus partai diangkat menjadi komisaris BUMN.
Alamsyah mengatakan, Ombudsman telah menyampaikan data-data yang mereka miliki kepada presiden. Ia berharap Ombudsman dapat segera membahasnya dengan Kementerian BUMN.
"Kami tidak ingin menelusuri siapa-siapa orangnya secara khusus, tapi semua ini akan kami dorong sebagai dasar untuk melakukan perbaikan sistem rekrutmen dan penempatan," kata Alamsyah.
Dalam surat yang mereka serahkan kepada presiden, ada empat kesimpulan yang dicatat Ombudsman terkait praktik rangkap jabatan komisaris BUMN.
Pertama, adanya benturan regulasi akibat batasan yang tidak tegas sehingga menyebabkan penafsiran yang berbeda dan cenderung meluas.
Kedua, pelanggaran terhadap regulasi yang secara eksplisit telah mengatur pelarangan rangkap jabatan (UU, PP, dan peraturan menteri).
Ketiga, adanya rangkap penghasilan yang tidak didasarkan prinsip imbalan atas beban tambahan yang wajar dan berbasis kinerja.
Keempat, sistem rekrutmen komisaris BUMN kurang transparan, kurang akuntabel, dan diskriminatif.
"Sampai saat ini tidak ada publikasi tentang laporan kinerja hasil evaluasi kinerja dari para komisaris ke publik. Bagaimana pun mereka diusulkan atau ditetapkan berdasarkan SK Menteri," ujar Alamsyah.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/04/15583601/ombudsman-2016-hingga-2019-ada-397-komisaris-bumn-rangkap-jabatan