Menurut Bintang, persoalan adat istiadat dan keyakinan tersebut masuk ke dalam faktor penyebab perkawinan anak melalui konstruksi sosial yang sudah memasuki tahap darurat.
"Kedaruratan itu terletak pada posisi praktik perkawinan anak yang masih diterima, biasa, dibenarkan bahkan dianggap sebagai penyelesaian masalah dan dipersepsikan boleh dilaksanakan dengan alasan tradisi adat istiadat, keyakinan," ujar Bintang dalam diskusi bertajuk Pendidikan Hukum untuk Penanganan Kasus Perkawinan Anak secara daring, Jumat (24/7/2020).
Ia mencontohkan praktik perkawinan anak yang mengatasnamanakan tradisi, budaya, atau agama adalah yang terjadi di Lombok.
Di daerah tersebut, kata dia, perempuan dapat dilarikan ke rumah laki-laki untuk dinikahkan.
Termasuk hasil penelitian di Makassar dan Gowa, Sulawesi Selatan yang menunjukkan adanya konstruksi sosial terhadap gender yang memengaruhi penerimaan masyarakat untuk perkawinan anak-anak.
"Di sana anak perempuan yang lambat menikah disebut sebagai perawan tua padahal mereka masih usia di bawah 18 tahun. Kondisi-kondisi ini (menunjukkan) masih banyak PR kita yang masih menjadikan adat kedok perkawinan anak," kata dia.
Bintang mengatakan, faktor penyebab perkawinan anak lainnya adalah perkawinan yang terjadi pada keluarga dengan latar belakang orang tua ingin meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga.
Pasalnya, kata dia, bagi rumah tangga miskin, kebanyakan anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi.
Dengan demikian, perkawinan pun dianggap sebagai solusi untuk melepaskan diri dari kemiskinan.
"Hal ini sesuai data susenas 2018 yang memperlihatkan, keluarga (berpenghasilan) rendah paling berisiko untuk menikahkan anaknya di bawah usia 18 tahun," kata dia.
Adapun data susenas (survei sosial ekonomi nasional) 2018 ada sebanyak 11,21 persen pernikahan anak terjadi di Tanah Air.
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/24/17502141/menteri-pppa-adat-istiadat-masih-jadi-alasan-perkawinan-anak