Salin Artikel

Menunggu "Reshuffle" di Tengah Pandemi

BERAGAM respons publik muncul ketika video Presiden Joko Widodo marah-marah kepada anggota kabinet dalam Sidang Kabinet Paripurna dirilis ke publik di akhir Juni lalu.

Ada yang mengapresiasi, ada pula yang mengkritik. Dari yang salut dengan keterbukaan informasinya, hingga yang menyoroti dan menganalisis ekspresi Presiden dalam rapat itu. Karena memang, memahami pesan dalam politik bukan semata membaca pesan tersurat, melainkan juga pesan yang tersirat.

Pemilihan kata (diksi), intonasi, penekanan pada kata-kata tertentu (pengucapan berulang-ulang), gerak tubuh, ekspresi wajah, bahkan momen penyampaian pesan, dan pemilihan waktu penyebaran pesan ke publik, merupakan sederet hal yang harus dipelajari secara bersamaan untuk dapat menangkap pesan secara utuh (Dan Nimmo, 1989).

Yang menarik, perbincangan di ruang publik, baik yang terekam di berbagai media massa online maupun di media sosial, lebih dominan membahas mengenai reshuffle kabinet, salah satu konten isi pidato "marah-marah" Presiden Joko Widodo.

Padahal, reshuffle kabinet merupakan isu politik, sedangkan di tengah situasi pandemi Covid-19 ini, publik biasanya cenderung enggan, kalau tidak dibilang alergi, untuk membahasnya.

Tokoh publik pun jika mengangkat isu ini, bisa kena imbas negatif karena dianggap kurang sensitif di tengah situasi sulit masyarakat.

Lalu, mengapa isu reshuffle kabinet ini kemudian mendapat liputan luas di media massa dan menjadi salah satu topik bahasan dominan di ruang publik dalam seminggu terakhir?

Situasi berat

Indonesia saat ini sedang dilanda situasi terbilang berat yang merupakan kombinasi dari tiga hal. Pertama, deraan pandemi Covid-19 yang tidak kunjung mereda.

Kedua, kondisi ekonomi yang semakin berat sejak Covid-19 melanda, bahkan diprediksi bakal menuju resesi.

Ketiga, respons anggota kabinet terkait yang dianggap Presiden Joko Widodo tidak memiliki sense of crisis dan bekerja ala kadarnya. Presiden menyebut, tidak ada perkembangan signifikan terkait kinerja para menteri dan pimpinan lembaga.

Ketika video Presiden Joko Widodo dirilis pada akhir Juni 2020, Indonesia memang sedang memasuki episode baru dalam menghadapi pandemi Covid-19. Ada lonjakan kasus Covid-19 secara signifikan pada Juni 2020.

Memasuki Juni, sejak kasus pertama diumumkan pemerintah di awal Maret 2020, menurut laman web www.worldometers.info, jumlah kasus Covid-19 Indonesia baru menyentuh angka 26.940.

Adapun di pengujung Juni 2020, jumlah kasus meningkat hingga dua kali lipat menjadi 56.385 kasus.

Peningkatan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 per hari di Indonesia pun tidak kalah drastis.

Sejak menyentuh angka seribu per hari, tepatnya 1.043 orang pada 9 Juni 2020, menurut situs web www.covid19.go.id, penderita baru positif Covid-19 sampai dengan akhir Juni hampir selalu di atas angka seribu. Hanya empat hari di bawah seribu. Bulan Juni 2020 pun ditutup dengan penambahan kasus positif harian sebesar 1.293 orang.

Penyebaran wabah virus corona ini pun menggerogoti ekonomi Indonesia. Pandemi ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi domestik triwulan I 2020 terperosok dalam ke level 2,97 persen.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 ini merupakan yang terendah sejak 2001. Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,02 persen secara tahunan sepanjang 2019, ada penurunan secara dalam sejak memasuki tahun ini.

Memasuki kuartal II 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi ekonomi Indonesia akan mengalami kontraksi alias menurun menjadi negatif 3,8 persen.

Kemenkeu memproyeksi konsumsi rumah tangga menjadi sebesar 0 persen di kuartal II 2020. Angka ini jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 2,84 persen maupun periode yang sama di 2019 sebesar 5,02 persen.

Kinerja perekonomian yang negatif dapat juga terlihat dari realisasi kinerja ekspor dan impor yang menurun tajam.

Untuk impor bahan baku, misalnya, merosot 43,03 persen. Begitu juga impor barang modal turun 40 persen.

Menurut Sri Mulyani, hal tersebut menunjukkan adanya kemerosotan kinerja di sektor industri manufaktur. Ancaman resesi pun semakin nyata.

Roda ekonomi yang melambat ini pun menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Pada medio Juni 2020, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, pekerja yang terdampak alias terkena PHK akibat virus corona Covid-19 mencapai 3 jutaan yang terdaftar.

Jumlah ini masih bisa bertambah karena masih banyak pekerja yang belum melaporkan statusnya ke Kemenaker atau Dinas Kesehatan di daerah.

Angka ini berbeda dengan prediksi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang menaksir angka pekerja terdampak mencapai 6,4 juta.

Respons anggota kabinet

Deraan pandemi dan kondisi ekonomi yang berat semakin diperparah oleh respons anggota kabinet yang dianggap Presiden Joko Widodo tidak memiliki sense of crisis dan bekerja ala kadarnya.

Video marah-marah Presiden yang dirilis akhir Juni lalu mengungkap beberapa fakta terkait serapan anggaran.

Rendahnya serapan anggaran, merupakan salah satu indikator bagi Presiden dalam menilai kinerja para menteri dan pimpinan lembaga tidak ada perkembangan signifikan.

Insentif kesehatan, sebagai contoh, telah diputuskan besarannya oleh Presiden untuk tenaga kesehatan pada 23 Maret 2020. Dua bulan kemudian, tepatnya 22 Mei, Menteri Kesehatan melaporkan bahwa insentif baru mulai dicairkan.

Pada 18 Juni 2020, Presiden marah terkait anggaran kesehatan yang baru cair 1,53 persen dari Rp 75 triliun.

Adapun menurut Menteri Keuangan per 27 Juni 2020, stimulus fiskal untuk penanganan kesehatan baru terealisasi 4,68 persen dari total yang telah dianggarkan sebesar Rp 87,55 triliun.

Bukan hanya stimulus fiskal untuk penanganan kesehatan yang baru rendah realisasinya. Penyerapan stimulus fiskal untuk usaha mikro kecil menengah (UMKM) pun baru mencapai 22,74 persen dari total anggaran sebesar Rp 123,46 triliun.

Itu pun dengan catatan, sebagaimana diakui Kemenkeu, bahwa penyerapannya mulai kencang akibat penempatan dana pada Bank Himbara sebesar Rp 20 triliun. Sehingga, jumlah yang benar-benar sudah terserap di lapangan baru berkisar 6 persen.

Adapun stimulus fiskal untuk perlindungan sosial baru terealisasi 34,06 persen dari total yang telah dianggarkan sebesar Rp 203,90 triliun. Penyerapan anggaran yang masih rendah, khususnya untuk program prakerja, bantuan langsung tunai (BLT), dan dana desa.

Kendala terbesarnya adalah pelaksanaan di lapangan, seperti target error dan overlapping. Ini lagi-lagi menunjukkan kinerja yang kurang optimal dari anggota kabinet dan perangkat pendukungnya.

Situasi seperti ini perlu menjadi perhatian. Daren Acemoglu dan James A Robinson, dalam Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, dan Poverty, menegaskan bahwa sebab utama kegagalan suatu negara bangsa bukan karena kurang sumber daya, melainkan karena salah urus, alias salah desain kelembagaan dan tata kelola pemerintahan.

Kekeliruan respons pejabat terkait, bisa membuat pandemi ini semakin menyebar dan kondisi ekonomi bisa terhambat untuk segera pulih.

Ancaman negara bangsa yang gagal, memang belum di depan mata. Tetapi, tetap saja kita harus berjaga sedari dini.

Pandemi Covid-19 ini merupakan ancaman yang sangat nyata, yang menggerus berbagai sendi kehidupan bangsa dan negara kita.

Harapan publik

Kondisi berat yang merupakan kombinasi dari tiga hal di atas membuat sebagian masyarakat kita merasa tidak puas dengan kondisi saat ini. Bahkan, tidak sedikit yang merasa frustrasi.

Tekanan berat terhadap kehidupan sehari-hari, sudah semakin terasa. Apalagi, tidak ada kepastian kapan bakal berakhirnya.

Suasana batin masyarakat yang kurang baik memunculkan aspirasi untuk adanya perubahan. Karena itu, isu reshuffle yang muncul melalui video pidato Presiden Joko Widodo kemudian viral. Seakan-akan merupakan kanalisasi aspirasi publik yang tersumbat selama ini.

Hal ini diamini oleh jajak pendapat Litbang Kompas. Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan pada 7-11 Juli 2020, sebagian besar responden (87,8 persen) menyatakan ketidakpuasan terhadap kinerja menteri, khususnya dalam menangani pandemi Covid-19.

Sebagian besar responden pun tidak puas terhadap penyediaan sarana dan prasarana kesehatan bagi tenaga medis dan masyarakat (71,1 persen) dan tidak puas terhadap bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak (75,1 persen).

Sebagai dampaknya, sebagian besar responden (61,4 persen) merasa pergantian menteri efektif untuk memperbaiki penanganan Covid-19. Dan, lebih banyak lagi responden yang merasa perombakan kabinet saat ini mendesak untuk dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, yaitu sebanyak 69,6 persen.

Aspirasi publik ini sebaiknya segera ditangkap oleh Presiden Joko Widodo. Sebelum rasa frustrasi publik semakin menyebar.

Reshuffle

Keputusan untuk melakukan reshuffle memang hak prerogatif Presiden. Akan tetapi, tak ada salahnya Presiden memperhatikan dan mendengarkan aspirasi publik.

Situasi seperti ini membutuhkan keputusan cepat dan tepat. Sudah terlalu banyak korban jiwa dan korban phk yang menderita karena pandemi ini. Perlu keputusan drastis dan berani dalam memperbaiki situasi ini.

Jika memilih untuk reshuffle, ada beberapa catatan yang perlu dicermati Presiden Joko Widodo. Pertama, mesti berhati-hati dalam menentukan pos menteri yang dirombak.

Harapannya tentu pos-pos terkait yang memang sangat relevan dalam penanganan Covid-19 dan terbukti kinerjanya di bawah ekspektasi.

Jangan sampai ada penumpang gelap dalam reshuffle, yang malah menambah beban Presiden dan kontraproduktif dengan rencana perbaikan yang diharapkan publik.

Kedua, perlu ketepatan dalam memilih menteri pengganti. Harus sosok yang giat, gesit, dan cepat beradaptasi dalam situasi dan kondisi baru dan tidak terduga, apalagi dalam masa krisis seperti ini.

Sosok yang dipilih juga sebaiknya figur yang bisa memecah kebuntuan. Berani mengambil langkah-langkah terobosan. Bukan tokoh yang berpikir business as usual.

Satu kutipan yang sangat terkenal, yang sering kali dilekatkan pada sosok Albert Einstein, kegilaan itu adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang, tetapi mengharapkan hasil yang berbeda.

Harapannya adalah Presiden memiliki sosok menteri baru yang benar-benar bisa menghasilkan perbaikan kinerja pasca-reshuffle. Sosok lamban, tidak kooperatif, dan sulit diterima publik, tentunya tidak perlu menjadi opsi.

Ketiga, pandemi Covid-19 ini merupakan masalah besar dan luar biasa bangsa ini. Karena itu, Presiden perlu menyatukan gerak langkah seluruh elemen bangsa dalam satu kesatuan. Bukan bergerak sendiri-sendiri, secara terpisah, dan tanpa komando.

Sangat tidak tepat jika mengharapkan masyarakat untuk bertindak sendiri-sendiri, tanpa kepemimpinan yang solid dari pemerintah. Ingat, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

Kini bukan saatnya lagi berbicara elemen pendukung dan bukan pendukung di masa lalu. Saatnya ego pribadi disimpan rapat-rapat, dan fokus pada solusi untuk mengatasi masalah bangsa bersama-sama.

Karena itu, jika memang dirasa perlu, Presiden tidak perlu alergi mengajak elemen-elemen yang selama ini belum tergabung dalam kabinet.

Perubahan dalam komposisi anggota kabinet bukan berarti Presiden telah mengambil langkah salah saat memilih para menteri di awal pemerintahannya.

Hanya, situasi krisis membutuhkan tipikal kepemimpinan yang berbeda. Mungkin saja sosok-sosok yang dibutuhkan, berada jauh dari lingkar kekuasaan.

Seperti kata Ben S Bernanke, mantan gubernur Bank Sentral Amerika Serikat yang sangat sukses dalam mengatasi krisis ekonomi 2008-2009, dalam buku The Courage to Act, selama krisis orang dibedakan oleh siapa yang bertindak dan yang takut untuk bertindak.

Semoga para pemimpin kita diberi keberanian untuk bertindak tepat dan cepat.

https://nasional.kompas.com/read/2020/07/15/13284141/menunggu-reshuffle-di-tengah-pandemi

Terkini Lainnya

Penyidik KPK Bawa 3 Koper dan 1 Ransel Usai Geledah Ruangan Kesetjenan DPR

Penyidik KPK Bawa 3 Koper dan 1 Ransel Usai Geledah Ruangan Kesetjenan DPR

Nasional
Hakim MK Ceramahi Kuasa Hukum Partai Aceh karena Telat Revisi Permohonan

Hakim MK Ceramahi Kuasa Hukum Partai Aceh karena Telat Revisi Permohonan

Nasional
Beri Pesan ke Timnas U-23, Wapres: Lupakan Kekalahan dari Uzbekistan, Kembali Semangat Melawan Irak

Beri Pesan ke Timnas U-23, Wapres: Lupakan Kekalahan dari Uzbekistan, Kembali Semangat Melawan Irak

Nasional
KPK Sebut Bupati Mimika Akan Datang Menyerahkan Diri jika Punya Iktikad Baik

KPK Sebut Bupati Mimika Akan Datang Menyerahkan Diri jika Punya Iktikad Baik

Nasional
Jokowi: 'Feeling' Saya Timnas U-23 Bisa Masuk Olimpiade

Jokowi: "Feeling" Saya Timnas U-23 Bisa Masuk Olimpiade

Nasional
Tolak PKS Merapat ke Prabowo, Gelora Diduga Khawatir soal Jatah Kabinet

Tolak PKS Merapat ke Prabowo, Gelora Diduga Khawatir soal Jatah Kabinet

Nasional
PKS Pertimbangkan Wali Kota Depok Maju Pilkada Jabar

PKS Pertimbangkan Wali Kota Depok Maju Pilkada Jabar

Nasional
Jemaah Umrah Indonesia Diizinkan Masuk Arab Saudi Lebih Cepat

Jemaah Umrah Indonesia Diizinkan Masuk Arab Saudi Lebih Cepat

Nasional
Pemerintahan Prabowo-Gibran Diprediksi Mirip Periode Kedua Jokowi

Pemerintahan Prabowo-Gibran Diprediksi Mirip Periode Kedua Jokowi

Nasional
Kasus Eddy Hiariej Mandek, Wakil Ketua KPK Klaim Tak Ada Intervensi

Kasus Eddy Hiariej Mandek, Wakil Ketua KPK Klaim Tak Ada Intervensi

Nasional
Nasdem Klaim Ratusan Suara Pindah ke Partai Golkar di Dapil Jabar I

Nasdem Klaim Ratusan Suara Pindah ke Partai Golkar di Dapil Jabar I

Nasional
PKB Masih Buka Pintu Usung Khofifah, tetapi Harus Ikut Penjaringan

PKB Masih Buka Pintu Usung Khofifah, tetapi Harus Ikut Penjaringan

Nasional
Temui Wapres Ma'ruf, Menteri Haji Arab Saudi Janji Segera Tuntaskan Visa Jemaah Haji Indonesia

Temui Wapres Ma'ruf, Menteri Haji Arab Saudi Janji Segera Tuntaskan Visa Jemaah Haji Indonesia

Nasional
Sinyal PKS Merapat ke Prabowo, Fahri Hamzah: Ketiadaan Pikiran dan Gagasan

Sinyal PKS Merapat ke Prabowo, Fahri Hamzah: Ketiadaan Pikiran dan Gagasan

Nasional
Polri Pastikan Beri Pengamanan Aksi 'May Day' 1 Mei Besok

Polri Pastikan Beri Pengamanan Aksi "May Day" 1 Mei Besok

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke