"Sudah jelas bahwa Perppu adalah peraturan pemerintah pengganti Undang-undang. Bukan menggantikan Undang-Undang Dasar. Ini yang saya sebut sebagai sabotase konstitusi," kata Masinton ketika dihubungi wartawan, Senin (20/4/2020).
Masinton menjelaskan, penerbitan Perppu bagian dari hak prerogatif presiden yang memiliki arti tergantung pada penilaian subyektif presiden.
"Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945: 'Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang'," ujarnya.
Kendati demikian, menurut Masinton, ada tiga syarat obyektif sebagai parameter yang dapat digunakan presiden untuk menerbitkan Perppu sesuai dengan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Pertama, adanya keadaan atau kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
"Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan," ucapnya.
Berdasarkan hal tersebut, Masinton mempertanyakan, kekosongan hukum menjadi kendala pemerintah dalam menghadapi Covid-19.
Sebab, kata dia, pemerintah sudah dibekali sejumlah regulasi yang memadai untuk mengatasi pandemi Covid-19.
"Apakah ada kekosongan hukum yang menjadi kendala pemerintah menghadapi pandemi Covid19? Jawabnya tidak," tuturnya.
"Sebagai payung hukum dalam mengatasi Pandemi Covid19 pemerintah telah dibekali UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Masyarakat, serta UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular," sambungnya.
Masinton juga menyoroti adanya kerancuan terkait judul Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona.
"Perppu ini mau nanggulangi pandemi Covid-19 atau mau menanggulangi kebijakan keuangan negara? Di sini lah ruang abu-abu para penumpang gelap bermain melalui regulasi dengan menyisipkan agenda dan kepentingannya memanfaatkan situasi pandemi Covid-19," ucapnya.
Selain itu, menurut Masinton, alasan pemerintah mengatasi pandemi Covid-19 yang telah berdampak pada pelambatan pertumbuhan ekonomi nasional tidak perlu dengan menerbitkan Perppu, tetapi bisa dengan merevisi Undang-Undang APBN.
Lebih lanjut, Masinton mengkritik, poin pada Perppu tersebut yang menyatakan pejabat pemerintah tak dapat dituntut perdata atau pidana.
Menurut dia, poin tersebut melanggar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
"Secara norma bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan, DPR akan segera membahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020.
“DPR melalui Alat Kelengkapan Dewan akan membahas Perppu tersebut untuk kemudian diputuskan dalam Rapat Paripurna,” ungkapnya, seperti dalam keterangan tertulis yang Kompas.com terima.
Puan mengatakan, hal tersebut setelah menerima RUU tersebut dari Menteri Keuangan Sri Mulyani ditemani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasona Laoly di gedung Nusantara 3 DPR RI, Kamis (2/4/2020).
Adapun, RUU tersebut tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.
https://nasional.kompas.com/read/2020/04/20/13312241/politisi-pdi-p-masinton-perppu-covid-19-sabotase-konstitusi