"Adapun dasar hukum dari tindakan tegas (benevolent governance) Polri melakukan pembubaran kerumunan dan menjaga pembatasan sosial yang aman adalah Pasal 212, Pasal 214, Pasal 216 ayat 1, dan Pasal 218 KUHP," kata Fadjroel melalui keterangan tertulis, Jumat (27/3/2020).
Ia mengatakan, hingga Kamis (26/3/2020), tercatat ada 1.731 pembubaran yang dilakukan polisi.
Semua pembubaran itu masih bersifat demokratis yaitu melalui ajakan dan imbauan. Namun, dalam keadaan di mana ada masyarakat yang melawan, Polti berhak menindak tegas.
Fadjroel menambahkan Pasal 212 KUHP dapat digunakan terhadap mereka yang melakukan upaya perlawanan saat dibubarkan oleh Polri.
Adapun Pasal 214 diperuntukkan bagi mereka yang melakukan perlawanan dan terdiri dari dua orang atau lebih.
Sementara untuk Pasal 216 ayat 1 dan Pasal 218 dapat dipakai untuk mereka yang tidak menaati himbauan polri namun tidak melakukan perlawanan.
Kerumunan massa yang dimaksud dijabarkan dalam poin nomor 2 Maklumat Polri yang telah diterbitkan Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis ini termasuk pertemuan sosial, budaya, keagamaan, dan aliran kepercayaan dalam bentuk seminar, lokakarya, sarasehan, atau semacamnya.
Selain itu juga kegiatan konser musik, olahraga, kesenian, jasa hiburan, unjuk rasa, pawai, karnaval, serta kegiatan lainnya.
Berdasarkan maklumat tersebut, kata Fadjroel, Polri menindak tegas aktivitas massa dan kerumunan.
"Presiden Joko Widodo mendorong agar sistem penanganan Covid-19 yang dilaksanakan oleh Gugus Tugas Covid-19 bekerja secara cepat dan tepat. Keselamatan kesehatan dan daya sosial ekonomi harus bisa diwujudkan.
Hal ini karena “Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi (Salus Populi Suprema Lex Esto)," lanjut dia.
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/27/14541801/istana-sebut-polri-berhak-tindak-tegas-masyarakat-yang-tolak-pembubaran