Melki mengatakan, DPR akan duduk bersama pemerintah untuk mendesain ulang sistem JKN.
"Ini menjadi momentum kita membenahi sistem Jaminan Kesehatan Nasional untuk diatur kembali," kata Melki di DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Ia mengatakan, banyak aspek JKN yang perlu dibenahi.
Merujuk pada catatan Komisi IX DPR yang membidangi urusan kesehatan, Melki mengatakan beberapa permasalahan yang kerap dibahas adalah kepesertaan, pembiayaan, dan layanan.
"Agar berbagai aspek yang selama ini menjadi persoalan yang kami bahas di Komisi IX, terkait kepesertaan, pembiayaan, layanan yang diperoleh dan lainnya bisa dituntaskan," kata dia.
"Ini harus diselesaikan menjadi penyelesaian mendasar komprehensif dan berjangka panjang," ucap Melki.
Ia mengatakan, fasilitas kesehatan yang diberikan pemerintah lewat BPJS Kesehatan semestinya tidak bicara perihal untung-rugi.
Menurut Melki, negara wajib menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai bagi masyarakat.
Melki menganggap tidak seharusnya ada istilah "defisit" dalam pelayanan BPJS Kesehatan.
Ia pun meminta Dewan Jaminan Sosial Nasional sebagai pengawas eksternal BPJS Kesehatan memperbaiki kekeliruan tersebut.
"Kesehatan tidak ada subsidi. Dia (Dewan Jaminan Sosial Nasional) bilang ini defisit. Ini perspektif yang keliru. Kita ini sudah kayak bertransaksi dan berbisnis sama rakyat. Kita lagi mengurus rakyat, memberikan uang, itu jaminan yang kita berikan. Bukan defisit," kata dia.
Menurut dia, layanan fasilitas kesehatan bagi masyarakat merupakan wujud implementasi pemerintah atas sila kelima Pancasila.
Ia mengatakan, Komisi IX DPR akan mengawasi pelaksanaan putusan MA.
"Urusan BPJS Kesehatan ini jangan dihitung angka-angka saja. Ini urusan yang diputuskan MA. Ini sila kelima, maka harus kita format kembali. DPR akan menyesuaikan keputusan MA," ujar dia.
Mahkamah Agung mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Dikutip dari dokumen putusan MA, Pasal 34 Ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019 bertentangan dengan sejumlah ketentuan di atasnya, antara lain UUD 1945, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Adapun pasal ini menjelaskan tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen.
"Pasal 34 Ayat (1) dan (2) Perpres RI Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Tidak Mempunyai Hukum Mengikat," demikian putusan tersebut.
Secara rinci, ini bunyi pasal yang dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat:
Pasal 34 (1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:
a. Rp 42.000,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III.
b. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II; atau
c. Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I.
(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020.
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/10/16324161/komisi-ix-dpr-putusan-ma-yang-batalkan-kenaikan-iuran-bpjs-jadi-momentum