JAKARTA, KOMPAS.com – Upaya penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berjalan lambat. Janji Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran HAM pada periode pertama pemerintahannya pun tak benar-benar terealisasi.
Publik justru kian meragukan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut, di tengah klaim pemerintah yang menyatakan sebagian kasus telah selesai. Meski masih dalam jumlah kecil.
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan, dari 15 kasus pelanggaran HAM yang ditangani Kejagung, saat ini baru tiga kasus yang telah selesai, yaitu kasus Timor Timur tahun 1999, kasus Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Abepura 2000.
Sedangkan, delapan dari 12 kasus yang belum selesai terjadi sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kasus itu meliputi Peristiwa 1965, penembakan misterius (petrus), Trisakti, Semanggi I dan II tahun 1998.
Kemudian, penculikan dan penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talangsari, peristiwa Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA), peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, serta peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.
Sementara, empat lainnya terjadi setelah UU Pengadilan HAM terbit yaitu peristiwa Wasior, Wamena, dan Paniai di Papua serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.
“Tahap penanganan perkara HAM yang telah dilakukan 12 perkara hasil penyelidikan Komnas Ham telah dipelajari dan diteliti, hasilnya baik persyaratan formil, materiil, belum memenuhi secara lengkap,” kata Burhanuddin di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada 7 November 2019 lalu.
Ada sejumlah hal, menurut dia, yang membuat pengusutan kasus pelanggaran HAM sulit dilakukan. Mulai dari sulitnya memperoleh alat bukti karena tempus delicti sudah lama, locus delicti sudah berubah, hingga alat bukti yang hilang.
Di lain pihak, pengusutan kasus pelanggaran HAM berat tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Aturan KUHAP disebutkan, keterangan seorang saksi tidak dapat menjadi alat bukti kecuali didukung alat bukti lain seperti keterangan ahli forensik, hasil uji balistik, dan dokumen terkait lainnya.
Hambatan lainnya yakni belum dibentuknya pengadilan HAM ad hoc. Padahal, berdasarkan UU 26/2000, kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc.
Sementara itu, Staf Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Dimas Bagus Arya Saputra berharap, Komnas HAM dapat lebih aktif dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada. Ia pun merujuk ketentuan di dalam Pasal 95 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Dalam pasal itu, Komnas HAM dapat meminta bantuan ketua pengadilan untuk memanggil secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat perlu mendapatkan perhatian serius. Penyelesaian kasus ini juga harus dilakukan melalui mekanisme peradilan agar rasa keadilan dapat ditegakkan.
"Untuk penyelesaian kasus yang lebih berkeadilan, kami mendesak agar Komnas HAM segera menyikapi hasil survei Litbang Kompas dengan menjadikan hasil survei tersebut sebagai basis argumen kepada presiden, untuk mendorong penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara berkeadilan," ujar Dimas di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019).
Litbang Kompas sebelumnya merilis hasil survey keyakinan masyarakat terhadap penyelesaian empat kasus pelanggaran HAM di masa lalu, yaitu penculikan aktivis 1997-1998, petrus 1982-1985, peristiwa Semanggi-Trisakti 1998 dan kerusuhan 1997.
Dari 1.200 responden yang disurvei dalam rentang waktu 23 September hingga 4 Oktober 2019, mayoritas pesimistis pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin dapat menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Seperti kasus penculikan aktivis, misalnya, hanya 34,5 persen yang menganggap pemerintah akan mampu menyelesaikan. Sedangkan 51,7 persen menilai pemeirntah tak mampu dan 13,8 persen menganggap sangat tidak mampu.
Sedangkan untuk kasus petrus, 48 persen menyatakan pemerintah mampu. Namun, 42,6 persen menyatakan tidak mampu dan 7,2 persen sisanya menyatakan sangat tidak mampu menyelesaikannya.
Sementara untuk kasus kerusuhan Mei 1997, sebanyak 42,7 persen responden menilai bahwa Jokowi-Ma'ruf tak mampu menyelesaikannya, 8 persen menilai sangat tidak mampu dan 46,8 persen menilai mampu.
Meski pesimistis, mayoritas responden tetap berharap agar penyelesaian kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan melalui mekanisme pengadilan, baik pengadilan nasional (62,1 persen) maupun internasional (37,2 persen).
Namun, menurut Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menyatakan, tidak semua kasus pelanggaran HAM dapat diselesaikan melalui mekanisme pengadilan. Seperti kasus Pelanggaran 1965-1966 lantaran telah kehilangan obyek hukum.
"Siapa yang mau dihukum? Siapa juga korbannya? Sudah pada tidak ada. Kenapa itu tidak dinyatakan saja, ini tidak bisa dibawa ke pengadilan. Mari kita akui bahwa peristiwa ini tejadi dan kita sesali dan ditutup kasusnya. Kan bisa?" kata dia.
Akan tetapi, menurut Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, selesai atau tidaknya kasus-kasus sebenarnya tersebut tergantung good will pemerintah, dalam hal ini Jokowi. Sebab, ia menilai, salah satu hambatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM adalah persoalan politik. Kondisi serupa juga terjadi di negara lain.
"Maka, tergantung Presiden mau atau tidak selesaikan sesuai harapan publik," kata komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat merilis hasil riset di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/12/2019).
"Makanya harus menjadi komitmen, apalagi Presiden Jokowi mengatakan bahwa penuntasan HAM adalah utang, tapi dalam penyelesainnya sulit karena ada nuansa politik," imbuh dia.
Sementara itu keluarga korban, Syahar Banu dan Maria Katarina Sumarsih, berharap agar pemerintah menuntaskan seluruh kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Sumarsih yang merupakan ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, korban penembakan saat Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998, mengingatkan Jokowi untuk tetap memegang teguh komitmen yang pernah dijanjikan sebelumnya.
"Harapan saya, Indonesia jangan dijadikan negara impunitas (kondisi di mana segelintir pihak yang melakukan kejahatan tidak bisa dipidana). Hendaknya Bapak Presiden Joko Widodo berkomitmen pada sumpah beliau untuk patuh kepada UUD 1945 yang mana Indonesia adalah negara hukum,” kata Sumarsih di Kantor Komnas HAM, Jakarta.
Di dalam dokumen visi misi Nawa Cita pada periode pertama pemerintahannya, Jokowi berjanji akan menyelesaikan delapan kasus pelanggaran HAM secara berkeadilan. Kasus itu meliputi kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, kasus penghilangan paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.
Sementara Syahar, keluarga korban peristiwa Tanjung Priok, berharap, agar pelaku dan aktor intelektual di balik peristiwa itu dapat terungkap. Meski proses hukum atas peristiwa ini ada, namun ia menilai, masih ada hal yang mengganjal di dalam proses penyelesaiannya.
“Ada hak yang paling kami inginkan untuk diungkapkan, yakni pengungkapan kebenaran," pungkasnya.
Sumber: Kompas.com (Penulis: Deti Mega Purnamasari, Dian Erika Nugraheny, Devina Halim)
https://nasional.kompas.com/read/2019/12/10/18135311/hari-ham-dan-keraguan-atas-komitmen-jokowi-tuntaskan-kasus-ham-berat