JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menilai Indonesia semakin tidak patuh dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Salah satunya, disebabkan dengan adanya Undang-undang KPK hasil revisi, yakni Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 yang mengubah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.
"Apakah Indonesia telah comply (patuh)? Menjunjung tinggi sebagai pihak yang meratifikasi UNCAC? Dengan perubahan UU KPK itu makin jauh panggang dari api," kata Laode di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Menurut Laode, Indonesia seharusnya mengikuti berbagai prinsip dan norma yang ada di dalam UNCAC.
Misalnya, UNCAC mengatur bahwa lembaga antikorupsi di suatu negara harus independen, bebas dari pengaruh manapun.
Dengan adanya UU KPK hasil revisi yang membuat KPK berada di bawah lingkup eksekutif, Laode menyebut independensi KPK berisiko terancam.
"Dulu KPK kita itu independen, sudah comply, sekarang kita ubah menjadi tidak independen. Berarti kita enggak comply lagi dengan UNCAC. KPK itu dibuat sebelum UNCAC itu dibentuk," kata Laode.
"Konvensi UNCAC itu banyak melihat salah satunya ICAC Hong Kong dan KPK waktu itu. Sehingga memang dilihat modelnya secara internasional, KPK salah satunya yang baik," ucapnya.
Oleh karena itu, lanjut Laode, pada tahun 2012 lalu sekitar 80 negara berkumpul di Jakarta dan melahirkan Jakarta Statement on Principles for Anti-Corruption Agencies.
Laode menegaskan bahwa UNCAC mengamanatkan lembaga antikorupsi di suatu negara selayaknya bersifat permanen.
"Kalau perlu dijamin dalam konstitusinya. Kita belum memenuhi dalam konstitusi, tapi dalam undang-undang sudah cukup asal dibuat jelas permanen," ujarnya.
Laode berpandangan kondisi semacam itu diperlukan mengingat kejahatan korupsi bukan kejahatan biasa.
"Karena yang dilawan kejahatan korupsi itu penguasa, apakah legislatif, eksekutif bahkan yudikatif," tutur Laode.
Menurut Laode, seharusnya pemerintah dan DPR merevisi Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) demi mengikuti dinamika kejahatan korupsi. Sebab, masih ada kejahatan korupsi lainnya yang belum diatur dalam UU Tipikor.
"Seperti memperkaya diri sendiri dengan ilegal, illicit enrichment belum masuk, memperdagangkan pengaruh atau trading influences belum masuk. Asset recovery, pengembalian aset itu belum ada bahkan sudah masuk Prolegnas tidak diselesaikan di DPR, dan menyoal pejabat publik asing juga belum masuk," kata dia.
Revisi UU Tipikor, lanjut Laode, justru lebih bisa menjadi bentuk komitmen negara dalam pemberantasan korupsi.
"Seharusnya dibenahi itu adalah UU Tipikornya dulu, bukan UU KPK-nya. Jadi yang gatal kiri yang digaruk kanan. Tetapi itu kenyataan kita harus menghormati parlemen dan pemerintah yang telah membuat keputusan seperti itu. Dan itu jelas bertentangan dengan konvensi UNCAC," pungkasnya.
https://nasional.kompas.com/read/2019/12/10/15041921/akibat-revisi-uu-kpk-indonesia-dinilai-tak-patuh-dengan-konvensi-antikorupsi