Salah satunya, yaitu larangan bagi peserta dengan orientasi seksual lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) untuk mengikuti seleksi tersebut.
Temuan itu didapatkan dari laporan masyarakat yang masuk melalui layanan pengaduan yang dibuka Ombudsman.
Larangan itu diketahui menjadi salah satu syarat yang ditentukan Kejaksaan Agung dan Kementerian Perdagangan. Belakangan, Kemendag telah menghapus syarat tersebut. Sedangkan Kejaksaan Agung masih mempertahankan persyaratan itu.
Kompas.com pun menelusuri persyaratan yang diwajibkan itu melalui laman rekrutmen.kejaksaan.go.id. Hasilnya, persyaratan itu berlaku untuk seluruh formasi, baik itu umum, cumlaude, putri/putri Papua dan Papua Barat, serta disabilitas.
Adapun secara lengkap persyaratan itu berbunyi:
"Tidak buta warna baik parsial maupun total, tidak cacat fisik, tidak cacat mental, termasuk kelainan orientasi seks dan kelainan perilaku (transgender), tidak bertato, tidak bertindik (khusus untuk laki-laki) dan mempunyai postur badan ideal dengan standar Body Mass Index (BMI) antara 18-25 dengan rumus berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat dengan tinggi badan untuk laki-laki minimal 160 (seratus enam puluh) centimeter dan perempuan 155 (seratus lima puluh lima) centimeter".
Saat dikonfirmasi, Kepala Pusat Penerangan Kejagung Mukri menilai hal itu sebagai sesuatu yang wajar. Meski demikian, ia enggan berkomentar soal potensi diskriminasi yang timbul atas larangan tersebut.
"Artinya, kita kan pengin yang normal-normal, yang wajar-wajar saja. Kita tidak mau yang aneh-aneh supaya mengarahkannya, supaya tidak ada yang... ya begitulah," tutur Mukri di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Kamis (21/11/2019).
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Tjahjo Kumolo setuju dengan larangan tersebut.
Menurut dia, tidak ada persoalan dalam aturan tersebut.
Ia pun menilai, apa yang dilakukan Kejaksaan Agung hanya bertujuan agar instansi ini bisa mendapatkan pegawai terbaik pada saat proses seleksi dilaksanakan.
"Saya setuju dengan Kejaksaan. Enggak ada masalah," kata Tjahjo usai menghadiri ‘Penyampaian Hasil Evaluasi dan Penghargaan Pelayanan Publik Wilayah II Tahun 2019’di bilangan Pecenongan, Jakarta Pusat, Jumat (22/11/2019).
Diskriminatif
Larangan pelamar LGBT untuk mengikuti proses seleksi CPNS berpotensi menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Menurut Direktur Riset Setara Institute, Halili, larangan itu merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap calon pelamar yang memiliki perbedaan orientasi seksual.
"Itu diskriminatif, kan orientasi seksual, identitas personal seseorang kan mestinya tidak bisa menghalangi,” kata Halili usai menghadiri sebuah acara di Hotel Ibis, Jakarta Pusat, Minggu (24/11/2019).
Selain itu, tidak ada dasar hukum yang melarang LGBT untuk mengikuti tes CPNS. Bila hal ini terus didiamkan, maka persoalan akan semakin berlarut-larut.
"Kalau kita misalnya akhirnya harus melihat orang dari sisi orientasi seksualnya, apa dasar hukum paling legal, paling formal, paling tepat, untuk mengidentifikasi orientasi seksual itu, kan tidak ada," ujar Halili.
"Jadi rekrutmen itu harus inklusif, jangan ada restriksi berdasarkan latar belakang primordial seseorang," kata dia.
Sementara itu, menurut anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, sepanjang tidak melakukan pelanggaran hukum, tidak ada persoalan seorang LGBT melamar sebagai CPNS.
Di Amerika Serikat, ia mencontohkan, LGBT hanya dilarang masuk militer. Sementara untuk posisi pelayanan seperti aparatur sipil negara (ASN), tidak ada larangan.
"Untuk jabatan yang umum, seperti jabatan aparatur sipil negara ya, yang tidak terkarakteristik tertentu, ya enggak usah dilarang karena status orang," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Jumat (22/11/2019).
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyatakan, setiap warga negara memiliki hak, kedudukan dan tanggung jawab yang sama di dalam memperoleh kepastian hukum.
Oleh karena itu, ia meminta, tidak ada kementerian/lembaga negara yang membuat kebijakan yang justru membedakan kelompok tertentu.
"Maka mari kita tidak boleh mengkotak-ngotakkan atas berdasarkan berbagai pembeda dan hal yang menciptakan diskriminasi," kata Hasto di Purwakarta, Jawa Barat, Sabtu (23/11/2019).
Ia menambahkan, seharusnya yang menjadi ukuran seseorang bisa atau tidak menjadi seorang CPNS dilihat dari profesionalitas, kompetensi, komitmen, integritas, serta komitmennya dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
"Konstitusi telah mengatur dan kita punya benteng Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa dari sila ketiga Pancasila itu bersifat wajib," kata dia.
"Tidak boleh ada perbedaan warga negara atas dasar suku, agama, status sosial, jenis kelamin dan sebagainya," sambung Tjahjo.
Sumber: Kompas.com (Penulis : Devina Halim, Dian Erika Nugraheny, Haryanti Puspa Sari, Achmad Nasrudin Yahya)
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/25/12531131/polemik-dilarangnya-peserta-lgbt-ikut-tes-cpns-2019