KOMENTAR Presiden Jokowi soal pelukan erat antara antara Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, dengan Presiden PKS, Sohibul Iman, memicu kegaduhan yang mewarnai media dalam beberapa hari belakangan.
Komentar yang disampaikan pada acara HUT Partai Golkar, Rabu (6/11/2019), tersebut direspons oleh Surya Paloh saat memberikan sambutan pada pembukaan Kongres II Partai Nasdem, Jumat (8/11/2019).
Aksi “berbalas pantun” kedua tokoh berbuntut saling sindir para politisi soal etika berpolitik. Gaduh soal pelukan dan politik zig zag sempat bertahan beberapa hari.
Senin (11/11/2019), dalam acara HUT ke-8 Partai Nasdem, kegaduhan selesai yang disimbolkan dengan pelukan hangat antara Jokowi dan Surya Paloh, serta penegasan kedua tokoh perihal komitmen soliditas.
Setidaknya itu yang terjadi di “panggung depan”.
Kegaduhan yang dipicu oleh para pembantu Presiden tak kalah riuh.
Baru beberapa hari menjabat, Menteri Agama Fachrul Razi mewacanakan untuk melarang cadar dan celana cingkrang di kantor-kantor instansi pemerintah.
Wacana ini bikin gaduh. Banyak pihak berteriak. Tak sedikit pula yang mengritik Menag.
Dalam rapat pertama dengan Menag, anggota Komisi VIII meminta mantan jenderal tersebut berhenti menyampaikan pernyataan kontraproduktif terkait isu radikalisme, dan fokus pada kerja-kerja prioritas di kementerian yang dipimpinnya.
Mendagri Tito Karnavian tak ketinggalan bikin gaduh. Ia mewacanakan pilkada dikembalikan ke DPRD untuk mengatasi politik biaya tinggi.
Kalangan masyarakat sipil sontak berteriak menentang niat mengembalikan pilkada ke tangan para elite. Gaduh wacana pilkada dikembalikan ke DPRD hanya bertahan beberapa hari.
Penegasan Presiden Jokowi bahwa mekanisme pilkada tetap melalui pemilihan langsung, yang disampaikan melalui jubir Istana, Fajroel Rachman, Selasa (12/11), menghentikan polemik ini.
Gaduh wacana soal pilkada boleh jadi selesai. Namun, memunculkan pertanyaan baru perihal komunikasi vertikal antara Presiden dan menterinya yang tidak satu frekuensi.
Masalah komunikasi horizontal antara para pembantu presiden yang tidak satu frekuensi juga bikin gaduh.
Isu desa siluman/hantu atau desa fiktif yang menerima kucuran Dana Desa ramai dibahas setelah dilontarkan pertama kali oleh Menkeu Sri Mulyani, Senin (4/11/2019).
Namun, bantahan datang dari Mendes PDTT, Abdul Halim Iskandar, yang mengatakan tak ada desa hantu alias desa yang tak berpenduduk.
Kemendagri ikut bersuara dengan mengatakan desa yang disebut desa hantu itu nyata keberadaannya, hanya saja sedang dalam perbaikan administrasi.
Kegaduhan yang dipicu oleh berbagai level, mulai dari presiden sendiri, para tokoh dan elite politik, hingga para pembantu presiden, mewarnai awal pemerintahan Jokowi jilid II yang baru seumur jagung.
Kegaduhan seakan menenggelamkan isu-isu substantif yang seharusnya segera diselesaikan oleh pemerintah, sebut saja pengungkapan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan dan penerbitan Perppu KPK.
Terhadap isu-isu substantif ini, pemerintah justru seolah mengulur-ulur waktu.
Kegaduhan yang terjadi di awal pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin juga tak sejalan dengan tekad Presiden dan instruksinya kepada para menteri untuk bekerja cepat dan efektif dalam menjalankan prioritas kerja yang telah dicanangkan.
Apa yang sebenarnya terjadi pada “panggung belakang” politik setelah para tokoh berpelukan untuk menyudahi kegaduhan politik?
Dalam politik, "panggung belakang" banyak tak diungkap. Padahal, realitas sejati ada di "panggung belakang" itu.
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/13/08050931/pelukan-jokowi-surya-paloh-dan-politik-gaduh-yang-belum-berlalu