Salin Artikel

"Democracy for Sale" dan Defisit Hukum

DALAM viral debat yang dinilai tanpa adab antara Arteria Dahlan (Anggota DPR-RI dari PDI-P) dengan Prof. Emil Salim soal pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), isu democracy for sale mulai digugat.

Sebenarnya, Prof Emil hendak memaparkan penelitian mutakhir yang dibukukan karya Edward Aspinall dan Ward Berenschot yang berjudul Democracy for Sale (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019:323) yang bercerita mengenai pembusukan demokrasi di Indonesia.

Penelitian tersebut menguraikan, betapa pahitnya demokrasi di Indonesia karena merupakan produk karakter oligarkis politik Indonesia yang bersenyawa dengan klientelistik kampanye pemilihan elite politik kita.

Di sana, biaya kampanye yang sangat besar dapat menjelaskan kegagalan demokrasi Indonesia untuk membatasi dominasi politik elite ekonomi dan bisnis yang telah ditempa puluhan tahun di era Orde Baru. Politik cukong menjadi biasa.

Seorang politisi yang tidak memiliki kecukupan modal biasanya membutuhkan seorang pendana untuk mendanai upayanya masuk ke parlemen. Tapi, seperti kita tahu, tidak pernah ada makan siang gratis.

Nah, ketika Sang Politisi itu berhasil lolos masuk parlemen, ada balasan yang harus dia kembalikan untuk membayar ongkos politik yang ditanggung Sang Pendana.

Bayarannya bukan berupa uang, tapi bisa bantuan dalam berbagai hal yang dibutuhkan Sang Pendana terkait operasional bisnisnya. Perizinan dagang, misalnya. 

Pola semacam inilah yang merusaka tatanan bernegara. 

Ini yang ingin disampaikan Prof Emil soal krisis kepercayaan pada parlemen yang banal oknumnya terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) dari KPK.

Sayang diskusi viral itu berakhir gaduh sehingga menghapus jejak esensi.

Letak hukum dalam demokrasi

Bagi penulis, awal anomali Indonesia pasca-Orde Baru (Orba) adalah berpisahnya hukum dari demokrasi.

Ketika pemilu dinilai semakin membaik, partisipasi, transparansi dan akses informasi mulai tumbuh kembang, penegakan hukum malah mengalami kemerosotan hebat.

Maka, tanpa sadar, demokrasi yang kita rebut dari rezim Orba dengan susah payah bisa jadi bermutasi menjadi oligarki.

Sesungguhnya,  hukum merupakan bagian orisinil dari demokrasi modern. Jika hukum sudah tiada, pilihannya tinggal dua: oligarki atau anarki.

Apa yang sesungguhnya terjadi?

Bagi penulis, transisi otoriterian ke demokrasi selama ini tidak pernah tuntas. Berbagai rezim pascareformasi selalu meninggalkan hutang pembangunan hukum yang terbengkalai.

Kadang, kalaupun hukum diperbaiki dari satu rezim ke rezim lain, selalu tidak utuh. Kerap hukum sekadar diartikan sebagai fabrikasi undang-undang. Atau pada fase lain diartikan sebagai rezim perizinan yang mengganggu investasi.

Padahal, hukum tidak sepicik itu.

Bila mengacu pada Bernard Arief Sidharta (Refleksi Struktur Ilmu Hukum, 2009:116), hukum merupakan gejala dalam kenyataan kemasyarakatan yang majemuk. Mempunyai banyak aspek, dimensi dan faset.

Hukum berakar dan terbentuk dalam proses interaksi berbagai aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, keagamaan dan sebagainya), dibentuk dan ikut membentuk tatanan masyarakat.

Bentuknya ditentukan oleh masyarakat dengan berbagai sifatnya, namun sekaligus ikut menentukan bentuk dan sifat-sifat masyarakat itu sendiri.

Atas dasar itu, maka hukum memiliki kecenderungan konservatif (mempertahankan dan memelihara apa yang sudah dicapai) juga modernisme (membawa, mengkanalisasi dan mengarahkan perubahan).

Dengan kata lain, mendiskusikan hukum memiliki kompleksitas sendiri.

Bila mengikuti pemikiran Prof Mochtar Kusumaatmadja (Konsep Hukum dalam Pembangunan, 2013), membincang hukum bisa dilakukan dalam konteks menelaah kaidah dan asas yang mengatur hidup manusia, bisa juga dalam konteks lembaga dan prosesnya.

Ketika hukum dimutilasi sekedar undang-undang misalnya, maka bagi penulis, hukum tidak dapat bekerja mewujudkan trilogi tujuannya yaitu ketertiban, keadilan dan kepastian bagi masyarakat.

Demokrasi terus diperbaiki. Kelembagaan dan sistem dibenahi. Pemilu dipercanggih dengan berbagai modifikasi mulai dari pemilu perwakilan hingga pemilu langsung dan serentak.

Namun ketika saat bersamaan hukumnya ditinggal maka hukum bisa menjadi tergelincir seperti stempel pengabsah kekuasaan.

Inilah yang penulis khawatirkan, ketika wacana oposisi dalam sistem pemerintahan kita mulai diabaikan dengan alasan kegotongroyongan.

Maka, kelompok dominan menjadi pengarusutama isu publik.

Kelompok marginal tidak berani bersuara. Apalagi hukum belum pasti melindungi mereka ketika memilih berbeda pendapat dalam demokrasi yang minus hukum.

Hukum responsif

Longsornya keberadaan hukum semakin berbahaya ketika demokrasi masuk di abad digital. Siapapun bias berlindung di anonimnya identitas di dunia maya. Mereka yang bersembunyi itu dapat melakukan pembantaian opini kepada kelompok yang bersuara berbeda.

Media sosial (medsos) menjadi sejenis “permainan dan perangkap baru” ketika nilai-nilai demokrasi belum sepenuhnya mengendap di publik.

Ketika medsos dipenuhi caci maki, penegakan hukum diduga diskriminasi, maka demokrasi bisa dibibir jurang.

Ada suara-suara parau yang menganggap, (belum tentu benar), bahwa pelaku pelanggar hukum yang dekat dengan kekuasaan tidak akan pernah tersentuh hukum. 

Sebaliknya, bila pelaku bukan bagian dari kekuasaan, demikian suara parau itu, pengadilan dan penjara seperti bagian dari keniscayaan.

Ini membuat semakin kompleks agenda pembangunan hukum.


Belum lagi soal nasib KPK pascarevisi UU KPK. Kehadiran dewan pengawas yang dituding mengebiri kapasitas KPK dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya kerap mengemuka. Isu pelemahan menjadi santapan diskursus publik sehari-hari.

Namun kita kehilangan tempat atau ruang untuk mendiskusikan secara serius -tanpa konflik kepentingan- soal desain masa depan KPK, misalnya.

Bagi penulis, sudah saatnya (dan mendesak), pemerintah fokus pada pembenahan hukum secara komperhensif. Bagaimana para pembentuk sampai penegak hukum bisa mendorong semangat hukum responsif yang didasari cita hukum Pancasila.

Kehadiran hukum responsif menjadi penting di tengah anomali demokrasi. Melalui konsep hukum responsif, (yang digagas Nonet dan Selznick dalam Law and Society in Transition, 2009), hukum didorong sebagai fasilitasi kebutuhan sosial dan aspirasi sosial publik.

Ada tiga agenda mendesak dari hukum responsif yang mendesak diupayakan.

Pertama, hukum responsif harus mampu menyediakan piranti kuat, tegas, lugas dan jernih untuk memproteksi publik dari ancaman spiral kebungkaman.

Spiral kebungkaman akan tumbuh kembang bila terjadi kriminalisasi terhadap kemajemukan dan perbedaan pendapat.

Kedua, hukum responsif harus mampu menjadi katalisator ancaman korupsi, radikalisme dan narkotika.

Tiga penyakit dahsyat tadi harus diatasi melalui desain hukum responsif baik dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologinya bernafaskan keseimbangan semangat ketertiban, keadilan dan kepastian hukum.

Ketiga, pembenahan mentalitas aparatur, kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang kompatibel dengan pembangunan hukum itu sendiri.

Tanpa memperhatikan persoalan-persoalan tersebut, hukum dikhawatirkan hanya asesoris yang tidak mampu tumbuh dan berkembang dalam kerasnya arus demokrasi digital.

Dengan demikian, melalui pembangunan hukum responsif berbasis Pancasila, diharapkan masa depan hukum bisa lebih baik. Dengan begitu, kemakmuran lahir batin sebagai tujuan bernegara dapat tercapai.

https://nasional.kompas.com/read/2019/11/04/07030001/-democracy-for-sale-dan-defisit-hukum

Terkini Lainnya

Dapat Sanksi Lagi dari DKPP, KPU Dianggap Tak Bisa Jadi Teladan

Dapat Sanksi Lagi dari DKPP, KPU Dianggap Tak Bisa Jadi Teladan

Nasional
[POPULER NASIONAL] Proyek Fiktif di Tol MBZ Demi Uang Pelicin BPK | Grace Natalie Jadi Stafsus Presiden

[POPULER NASIONAL] Proyek Fiktif di Tol MBZ Demi Uang Pelicin BPK | Grace Natalie Jadi Stafsus Presiden

Nasional
Tanggal 23 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 23 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke