KABINET Indonesia Maju resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo, Rabu (23/10/2019). Dua hari setelahnya, Jumat (25/10/2019), dilantik para wakil menteri (wamen) yang berjumlah 12 orang.
Aroma bagi-bagi kursi atau akomodatif kental terasa pada penyusunan kabinet Presiden Jokowi jilid II ini, terutama pada kursi wamen.
Partai politik dan relawan pendukung Jokowi yang tidak mendapatkan jatah kursi menteri, diakomodasi melalui kursi wakil menteri. Nuansa akomodatif ini tampak jelas dari sejumlah langkah yang di luar kebiasaan.
Penunjukan para wakil menteri yang bersamaan dengan periodisasi kabinet merupakan sesuatu di luar kebiasaan.
Pada pemerintahan Jokowi jilid pertama maupun pada era kepresidenan sebelumnya, penunjukan dan pengangkatan para wakil menteri dilakukan beberapa waktu setelah para menteri menjalankan tugasnya.
Masalah timing ini bahkan dinilai oleh pakar hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, mengingkari sifat fakultatif pengangkatan wamen seperti diatur dalam Undang-Undang Kementerian Negara, yakni dalam hal terdapat beban kerja menteri yang membutuhkan penanganan secara khusus, maka presiden dapat mengangkat wamen pada kementerian tertentu.
Menurut Bayu, beban kerja tersebut baru bisa terlihat melalui evaluasi setelah menteri bekerja dalam waktu tertentu.
Dipilihnya sosok yang memiliki keterkaitan dengan partai politik dan organisasi relawan (nonprofesional/nonkarier) untuk menduduki kursi wamen juga menjadi sesuatu yang baru dan di luar kebiasaan, meskipun tidak ada yang dilanggar secara hukum.
Pada masa sebelumnya, kursi wamen diisi dari kalangan karier dan profesional yang memiliki keterkaitan langsung dengan bidang kementerian yang dimasukinya.
Hal ini sesuai dengan semangat penunjukan wakil menteri, yakni untuk meringankan beban kerja menteri dan memperkuat kinerja kementerian.
Penunjukan wakil menteri kali ini bahkan diwarnai sekelumit drama yang mengentalkan aroma akomodatif.
Organisasi relawan Projo urung membubarkan diri setelah ketua umumnya mendapat jatah kursi menteri.
Padahal, sebelumnya, kelompok relawan ini menyatakan akan membubarkan diri sebagai bentuk kekecewaan bergabungnya rival Jokowi pada pilpres lalu, Prabowo Subianto, ke dalam kabinet.
Kuatnya aroma bagi-bagi kursi dalam pengangkatan para wamen mengundang pertanyaan terkait dampaknya terhadap kinerja pemerintahan ke depan.
Apakah akan memperkuat, atau justru kontraproduktif?
Masalah ini akan dikupas mendalam pada panggung talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (30/10/2019), yang disiarkan secara langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.
Rangkap jabatan pengurus parpol
Berbeda dengan kebijakan yang diterapkan pada Kabinet Kerja, Presiden Jokowi mempersilakan para menterinya di Kabinet Indonesia Maju merangkap jabatan sebagai pengurus partai politik.
Presiden Jokowi menilai, ternyata tidak ada masalah dalam menjalankan tugas-tugas kementerian bagi menteri yang menjabat pengurus partai.
“Maka kita putuskan baik ketua partai maupun yang di struktur partai bisa ikut,” ujar Jokowi.
Diterapkannya standar ganda antara Kabinet Kerja dan Kabinet Indonesia Maju ini mengundang sorotan.
Rangkap jabatan sebagai pengurus parpol yang dimiliki menteri dinilai akan memunculkan konflik kepentingan yang berpotensi mengarah pada tindakan penyelewengan kekuasaan (malpraktik kekuasaan) dan tindakan koruptif.
Hal ini karena perbedaan fungsi partai politik untuk memperjuangkan kepentingan kelompok atas dasar dukungan pemilih dengan fungsi pemerintahan untuk membuat kebijakan atas dasar kepentingan umum.
Selain itu, seorang menteri yang merangkap jabatan sebagai pengurus parpol dinilai tidak akan bisa efektif mengerjakan tugas-tugas kementeriannya hingga akhir masa jabatannya.
Pasalnya, tenaga dan pikiran mereka akan terkuras untuk kepentingan partai menjelang tahun politik 2024. Saat itu, kepentingan pemerintahan akan dikalahkan kepentingan partai.
https://nasional.kompas.com/read/2019/10/30/07384781/kabinet-akomodatif-akankah-efektif