Salin Artikel

KPK is Dead

MENGUTIP judul film Superman is Dead. Sang superhero pemberantasan korupsi di Tanah Air juga telah wafat. KPK is Dead.

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Hari ketika Rancangan Undang-Undang atas Perubahan UU KPK disetujui bersama antara Presiden dan DPR adalah hari KPK menjemput ajalnya.

Setelah 17 tahun bertahan dari berbagai jurus serangan dari berbagai arah penjuru mata angin, akhirnya KPK tidak mampu lagi bertahan.

Pada ronde terakhir, ketika DPR berada di ujung masa jabatannya, KPK mendapatkan pukulan upper cut yang mematikan, dan akhirnya knock out, dan sekarang: mati.

Bahwasanya KPK pasti mati, sebenarnya adalah hukum alam. Itu menandakan, kekuatan koruptor dan para pendukungnya sedang jauh lebih kuat.

Akhirnya, KPK menyusul para pendahulunya, 12 lembaga antikorupsi yang pernah hidup di Republik dan akhirnya mati di tangan para koruptor.

Kali ini, modus operandinya melalui legislative review, yaitu mengubah atau menghilangkan dasar kewenangan KPK di dalam undang-undangnya, sehingga menjadi lemah, lumpuh, dan akhirnya tiada.

Terencana, sistematis, dan masif

Di dalam sengketa hasil pemilu, ada istilah yang sangat terkenal, yaitu kecurangan yang sifatnya terstruktur, sistematif, dan masif (TSM).

Kali ini strategi itu diterapkan dengan efektif kepada KPK. Pembunuhannya dilakukan secara TSM: terencana, sistematis, dan masif.

Hasilnya, tidak hanya KPK yang ditiadakan tetapi agenda pemberantasan korupsi pun berada di ujung jurang kematian.

Melalui revisi UU-nya, KPK dilumpuhkan. Jika saja tidak ditunda oleh Presiden Jokowi, korupsi dijadikan pidana biasa melalui pengesahan RUU KUHP, hukumannya diperingan melalui RUU Pemasyarakatan—napi korupsi akan mudah mendapatkan pengurangan hukuman dan pembebasan.

Jika saja ketiga RUU itu disahkan menjadi UU, maka lengkaplah sudah. Yang menangkap dimatikan; kalaupun tertangkap hukumannya akan lebih ringan. Sudah hukumannya lebih ringgan, masih akan dikurangi lagi dengan berbagai obral remisi dan pembebasan bersyarat.

Maka, sebulan setelah hari kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2019, tepatnya pada 17 September, yaitu pada saat revisi UU KPK disahkan, koruptor tersenyum. Karena, mereka mendapatkan kado kemerdekaan beruntun.

Menjadi tepat beberapa sindiran di media sosial yang menetapkan hari kematian KPK itu sebagai “Hari Kemerdekaan Koruptor Nasional”.

Berbagai RUU yang pada awalnya direncanakan disahkan di hari-hari terakhir masa jabatan parlemen, dengan menafikan penolakan dan masukan publik, dibahas dalam ruang-ruang negosiasi tertutup, menunjukkan ada grand design yang direncanakan dengan matang untuk memporak-porandakan upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Argumentasi manipulatif

Saya tidak akan banyak mengulas soal RUU KUHP—yang juga sudah ditunda pengesahannya—karena itu lebih kental dengan hukum pidana.

Izinkan saya membahas lebih rinci kerancuan pikir dalam revisi UU KPK dan RUU Pemasyarakatan. Keduanya menggunakan satu strategi komunikasi yang sama, yaitu manipulatif dan menyesatkan.

Di dalam revisi UU KPK, retorika yang selalu diulang-ulang adalah dengan perubahan UU maka KPK dikuatkan, bukan dilemahkan.

Faktanya, kasat mata KPK dilumpuhkan dan ditiadakan. Yang dijadikan sasaran tembak untuk dilumpuhkan adalah kelembagaan, kewenangan, dan sumber daya KPK.

Secara kelembagaan, pilar utama KPK adalah keberadaannya sebagai lembaga negara yang independen (independent agency).

Hal demikian nyata diperlukan KPK karena kronisnya penyakit korupsi kita yang sudah masuk ke seluruh cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Karenanya, KPK tidak boleh berada di salah satu cabang kekuasaan itu dan harus independen agar efektif.

Maka, revisi UU KPK yang meletakkan KPK ke dalam rumpun eksekutif, alias menjadikannya sebagai executive agency, jelas-jelas telah menghilangkan roh kehidupan KPK.

Secara kewenangan, KPK dilucuti dengan berbagai cara. Kewenangan penyadapan, penyitaan, dan penggeledahannya dikebiri dengan mensyaratkan perizinan dari Dewan Pengawas.

Pimpinan KPK dikebiri dalam proses penyidikan dan penuntutan. Karena Pasal 21 ayat (5) yang berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum”, dihapus.

Kesempatan KPK untuk lebih efektif memberantas korupsi di daerah diamputasi, karena Pasal 19 ayat (2) yang memungkinkan KPK membentuk perwakilan di daerah juga dihilangkan.

Masih banyak detail lain, yang dengan kasat mata mengebiri kewenangan strategis KPK dan membuatnya lumpuh menjadi laiknya macan ompong, kehilangan taringnya.

Secara sumber daya manusia (SDM), KPK juga dilucuti. Sebagai aparatur sipil negara (ASN), pegawai KPK bukan hanya diletakkan di bawah presiden, melainkan di bawah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Hilang sudah independensi pegawai KPK yang menyebabkan mereka tidak mudah diintervensi melalui senjata birokrasi. Tidak ada lagi penyidik KPK yang independen, direkrut sendiri oleh KPK, karena semuanya akan ikut mekanisme rekrutmen ASN yang dilakukan oleh kementerian.

Dengan KPK yang tidak lagi independen dan kewenangannya lumpuh, retorika yang dibangun saat merevisi UU KPK, bahwa “KPK dikuatkan” jelas-jelas manipulatif dan menyesatkan.

Demikian pula, RUU Pemasyarakatan dimanipulasi dengan logika hukum yang keliru secara mendasar.

Diargumenkan bahwa remisi, pembebasan bersyarat, asimilasi adalah hak azasi manusia (HAM). Sehingga, jika tidak diberikan adalah pelanggaran HAM. Diskriminatif. Kalau ingin dibatasi tidak boleh melalui peraturan pemerintah, tetapi harus dengan undang-undang atau putusan pengadilan.

Argumentasi demikian membodohkan dan menyesatkan. Kekeliruannya sangat mendasar.

Remisi, pembebasan bersyarat, dan lain-lain adalah hak narapidana tetapi bukan HAM. Benar bahwa semua napi adalah manusia, tetapi bukan semua manusia adalah napi.

Karenanya, remisi dan pembebasan bersyarat adalah hak napi, tapi bukan hak azasi manusia.

HAM adalah hak yang melekat kepada manusia sejak lahir. Tidak ada manusia yang pada dirinya sejak lahir melekat hak untuk mendapatkan remisi, karena tidak semua manusia terlahir sebagai napi.

Karena itu, dalam UU Pemasyarakatan yang lama dikatakan, syarat dan tata cara pemberian hak napi cukup diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, bukan dengan undang-undang.

Sekali lagi, karena hak napi bukan hak azasi manusia. Kalau HAM, memang jelas berdasarkan Pasal 28J UUD 1945, pembatasannya harus dengan undang-undang.

Lebih jauh, bahwa PP 99 Tahun 2012 yang mengetatkan—bukan menghilangkan—hak napi korupsi melanggar UU HAM, diskriminatif; melanggar UU Pemasyarakatan; melanggar UU Pembentukan Perundang-Undangan; adalah argumentasi yang terus diulang, tetapi sudah sah dinyatakan keliru melalui putusan pengadilan.

Putusan-putusan Mahkamah Agung sudah tegas menolak uji materi PP 99/2012 tersebut, dan dengan jelas memutuskan PP tersebut tidak bertentangan dengan UU HAM, UU Pemasyararakatan, ataupun UU Pembentukan Peraturan PerUUan.

Bahkan, ketika ada upaya untuk membatalkan PP 99 itu ke MK, dengan menguji UU Pemasyarakatan, MK pun dengan tegas menolak permohonan itu.

Jadi, sekali lagi, argumentasi bahwa PP 99/2012 yang mengetatkan pemberian hak napi korupsi adalah melanggar HAM, diskriminatif, dan lain-lain, adalah retorika yang manipulatif dan menyesatkan.

Senyatanya, argumentasi itu mungkin dibuat karena ketidakpahaman, alias persoalan kapasitas intelektual, atau karena sudah tahu tapi tetap memilih kebijakan koruptif, alias persoalan integritas moral.

What next

Karena revisi UU KPK sudah disetujui bersama Presiden dan DPR, ke depan hanya ada empat kemungkinan yang bisa terjadi secara hukum tata negara.

Pertama, Presiden menandatangani RUU tersebut dan resmi diundangkan.

Kedua, Presiden tidak menandatangani RUU tersebut, dengan berbagai pertimbangan, termasuk mengirimkan pesan seolah-olah berubah pikiran dan menolak RUU tersebut.

Namun, tanpa tanda tangan Presiden sekali pun, dalam waktu 30 hari sejak disetujui bersama maka RUU tersebut akan tetap sah menjadi UU yang berlaku.

Ketiga, karena desakan penolakan makin menguat maka Presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) yang membatalkan revisi UU KPK, dan menyelamatkan KPK dari kematian.

Yang terakhir, keempat, jika revisi UU KPK tetap diundangkan maka yang tersisa adalah menguji konstitusionalitasnya ke hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi.

Argumentasi yang bisa dibangun di MK antara lain, UUD 1945 adalah kitab utama antikorupsi kita dalam bernegara, sedangkan revisi UU KPK membuat KPK mati dan koruptor merajalela.

Lalu, ada beberapa norma dalam revisi UU KPK yang menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945.

Kepada MK juga harus dijelaskan bahwa norma-norma dalam revisi UU KPK tidak termasuk dalam kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy).

Bagaimanapun, jika norma-norma revisi tersebut menyebabkan agenda pemberantasan korupsi terganggu maka norma demikian harus dianggap bertentangan dengan konstitusi kita yang antikorupsi.

Terus terang, saya masih berharap Presiden Jokowi berkenan menerbitkan perppu yang membatalkan berlakunya revisi UU KPK. Meskipun saya tahu, hal demikian tidaklah mudah tetapi tetap layak terus diperjuangkan dan disuarakan.

Jika pun tidak berhasil maka opsi yang tersisa tinggal uji materi ke MK.

Meskipun beberapa kalangan tidak terlalu optimis dengan hasil akhir di MK, harapan tetap perlu disematkan ke sembilan negarawan hakim Mahkamah. Semoga saja hati mereka terketuk dan palu keadilan MK bisa menyelamatkan KPK.

Kalau putusan MK menguatkan revisi UU KPK, maka KPK betul-betul is dead. 

https://nasional.kompas.com/read/2019/09/25/17050111/kpk-is-dead

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke