Sebab, meskipun RUU tersebut menuai banyak penolakan, pembahasannya tetap dilakukan.
Bahkan, ditargetkan selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir awal Oktober ini.
"Menurut saya bisa dikatakan akhirnya proses legislasi kita akhirnya menjadi otoritarian. Yang memaksakan kehendak, tidak peduli pada masyarakat, main sahkan saja," kata Feri kepada Kompas.com, Jumat (20/9/2019).
RKUHP dan RUU Pemasyarakatan bukan regulasi pertama yang pembahasannya dilakukan secara kilat.
Sebelumnya, DPR bersama pemerintah telah mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hanya membutuhkan waktu sebelas hari saja.
Kini, kata Feri, publik harus kembali dipaksa tunduk pada kekuatan eksekutif dan legislatif yang bakal mengesahkan dua Undang-undang yang pasalnya bermasalah.
Dalam RKUHP misalnya, pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden kembali dihidupkan.
Pasal 218 RKUHP mengatur, setiap orang yang dianggap menyerang kehormatan Presiden dan Wakil Presiden bisa dipidana maksimal 3,5 tahun atau denda Rp 150 juta.
Kemudian, Pasal 219 menyebut bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang dianggap menyerang kehormatan dan martabat Presiden dan Wakil Presiden di depan publik, terancam hukuman paling lama empat tahun enam bulan atau denda paling banyak kategori IV, yakni maksimal Rp 150 juta.
"(Pasal) penghinaan terhadap Presiden itu kan sebenarnya yang kita baca, dipaksakan untuk menekan publik luas dalam hal-hal tertentu terhadap pemerintahan maupun DPR," ujar Feri.
Kemudian, dalam RUU Pemasyarakatan, salah satu poinnya menyebutkan tentang pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, salah satunya kasus korupsi.
Dalam Pasal 12 ayat (2) UU Pemasyarakatan sebelum revisi, ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Sementara PP Nomor 99 Tahun 2012 memperketat pemberian hak remisi dan pembebasan bersyarat, yakni jika seorang narapidana kasus korupsi menjadi justice collaborator serta mendapat rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam draf UU Pemasyarakatan yang sudah direvisi, tidak lagi terdapat ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Feri menilai, ketimbang sarat kepentingan publik, aturan-aturan itu cenderung banyak memuat kepentingan politis.
"Ini kan satu rangkaian dengan kepentingan partai politik. DPR dan Presiden di RUU KPK karena sesungguhnya akan berujung ke KUHP," kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/20/15315381/rkuhp-dan-ruu-pemasyarakatan-dikebut-pemerintah-dan-dpr-dinilai-otoriter