Beberapa saksi yang hadir berbicara soal dugaan kecurangan berasal dari hitung-hitungan dalam situng KPU. Mereka menduga ada kecurangan itu berdasarkan data yang mereka pegang.
Misalnya, Agus Maksum yang merupakan ahli IT Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga. Agus menjelaskan temuannya mengenai daftar pemilih tetap (DPT) invalid.
Kemudian ada Idham yang menjelaskan tentang rekayasa NIK dan Tri Hartanto yang menceritakan kesaksiannya melihat delay dalam situng.
Beberapa saksi lain merupakan pelapor beberapa kasus pelanggaran pemilu. Misalnya, Listiyani yang merupakan pelapor kegiatan deklarasi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan kepala daerah lain. Namun, Listiyani tidak melihat langsung kejadian tersebut dan hanya menonton videonya.
Ada juga Rahmadsyah yang menyebutkan ada oknum polisi yang tidak netral dalam Pemilu 2019. Rahmadsyah menyebut polisi itu bernama Ismunajir, anggota Polres Kabupaten Batubara. Namun, keterangan itu berasal dari laporan orang lain.
Sementara itu, ada Said Didu yang memberikan kesaksian mengenai pengalamannya di BUMN. Dia menerangkan soal pejabat BUMN yang menurutnya harus mundur dari jabatan saat mencalonkan diri dalam pemilu.
Namun, sejumlah saksi menceritakan kecurangan yang dilihatnya sendiri. Ada yang melihat anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), melihat tumpukan sampah amplop form C1, dan lainnya. Berikut ini adalah rangkuman keterangan saksi yang mengaku melihat sendiri kecurangan pemilu di lapangan.
1. Nur Latifah
Seorang perempuan asal Dusun Winongsari, Desa Karangjati, Kabupaten Boyolali, bernama Nur Latifah mengaku melihat anggota KPPS di TPS 08 desa tersebut mencoblos 15 surat suara di TPS.
Dia sendiri melihat kejadian itu saat sedang menjalankan tugas sebagai relawan salah satu kelompok masyarakat.
"Setahu saya kurang lebih 15. Saya menyaksikan sendiri, saya di TPS-nya," ujar Nur Latifah dalam sidang sengketa pilpres di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Rabu (19/6/2019).
Latifah yakin dengan yang dilihat karena bisa menyaksikannya dari samping bilik suara. Belakangan Latifah mengetahui bahwa ada kesepakatan di dusun tersebut. Penggunaan hak suara warga yang sudah lansia di dusun tersebut akan dibantu oleh anggota KPPS.
Hakim Konstitusi Suhartoyo kemudian bertanya apakah Latifah mengetahui proses pencoblosan itu lebih lanjut. Maksudnya, apakah anggota KPPS bertanya dulu kepada warga lansia mengenai siapa yang mau dicoblos. Latifah pun menjawab tidak tahu soal itu.
Meski demikian, Latifah menyebut perolehan suara antara paslon 01 dan 02 di TPS tersebut berbeda jauh.
Atas kejadian itu, Ketua Bawaslu Abhan menyebut Bawaslu Boyolali sudah merespons. Bawaslu Boyolali telah merekomendasikan untuk melakukan pemungutan suara ulang (PSU).
"Dan rekomendasi PSU sudah dilaksanakan KPU Boyolali," ujar Abhan.
Selain itu, anggota KPPS yang melakukan pelanggaran juga direkomendasikan untuk tidak dipilih lagi pada pemilu ke depan.
2. Beti Kristiana
Saksi lain, Beti Kristiana, mengaku melihat tumpukan amplop resmi yang digunakan untuk menyimpan formulir C1. Amplop bertanda tangan itu dalam kondisi terbuka dan kosong.
Selain itu, ia juga menemukan tumpukan lembaran segel suara berhologram yang telah digunting.
"Lembaran itu menggunung, setelah dikumpulkan menjadi empat karung lebih," ujar Beti.
Menurut Beti, tumpukan itu ia lihat di halaman kantor Kecamatan Juwangi, Kabupaten Boyolali, pada 18 April 2019 pukul 19.30 WIB atau sehari setelah pencoblosan.
Di sisi lain, Beti menemukan sebuah ruangan yang agak tersembunyi di kantor kecamatan. Di dalam ruangan tersebut terdapat tiga anggota KPPS, dua laki-laki dan satu perempuan.
Menurut pengakuan Beti, ketiganya tengah memasukkan formulir C1 ke amplop baru yang tak bertanda tangan atau tak resmi.
Sementara itu, komisioner KPU menemukan keanehan pada bukti amplop yang ditunjukkan saksi Beti. KPU melihat ada kesamaan bentuk tulisan di bagian luar amplop.
Padahal, amplop yang disebut ditemukan di kecamatan itu berasal dari tempat pemungutan suara (TPS) yang berbeda-beda.
3. Fakhrida Arianty
Saksi lain, Fakhrida Arianty, mengaku mendapat arahan melalui grup aplikasi WhatsApp yang diduga terkait pelanggaran netralitas perangkat desa.
Grup aplikasi tersebut beranggotakan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat desa Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD) di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan.
"Mereka sampaikan di situ bahwa program P3MD berakhir kalau pemerintahannya berganti. Program ini akan habis. Maka, kawan-kawan jadi pengangguran. Tidak punya pendapatan," ujar Fakhrida.
Kata dia, penamping desa juga meminta anggota grup untuk mengampanyekan keberhasilan dana desa pada pemerintahan Presiden Joko Widodo.
"Di grup pekerjaan juga ada semacam secara tersirat permintaan harus bermedia sosial, salah satunya tweet keberhasilan dana desa itu karena 01, pemerintahannya sekarang. Teman-teman diminta men-tweet itu," kata Fakhrida.
4. Hairul Anas Suadi
Saksi lain yang bersaksi di sidang MK bernama Hairul Anas Suadi. Dia merupakan caleg dari Partai Bulan Bintang (PBB) yang mengaku pernah mengikuti training of trainer atau pelatihan yang diadakan Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Pelatihan itu diberikan kepada saksi dan calon pelatih saksi dalam pemungutan suara.
Menurut Anas, salah satu pemateri dalam pelatihan itu adalah Wakil Ketua TKN Moeldoko. Salah satu materi yang disebutkan Moeldoko adalah istilah kecurangan bagian dari demokrasi.
Menurut dia, seolah-olah istilah tersebut menegaskan bahwa kecurangan adalah sesuatu yang wajar dalam demokrasi.
"Lebih cenderung mengatakan bahwa kecurangan adalah suatu kewajaran," kata Anas.
https://nasional.kompas.com/read/2019/06/20/12540851/rangkuman-keterangan-saksi-prabowo-yang-merasa-melihat-langsung-kecurangan