Peristiwa ini bermula dari pembunuhan akibat kesalahpahaman sekelompok orang mengenai santet. Bagi mereka yang tidak paham dengan sosiologi masyarakat Banyuwangi, santet diidentikkan dengan perbuatan kejam melalui perantara sihir.
Santet juga erat kaitannya dengan Banyuwangi. Bahkan stigma ini sudah dikenal oleh masyarakat di luar kota ini.
Padahal, menurut dosen Sejarah di IAIN Surakarta Latif Kusairi, terminologi masyarakat Banyuwangi yang kebanyakan terdiri dari suku Using, Jawa, dan Madura menilai santet tak identik dengan sihir jahat.
"Semua yang ada di Banyuwangi dianggap sebagai santet. Maksudnya santet ini sudah menjadi bagian dari masyarakat Banyuwangi," kata Latif dalam diskusi pada Kamis (16/5/2019) sore.
Dia melanjutkan, ada beberapa klasifikasi tersendiri mengenai santet yang ada di Banyuwangi. Klasifikasi ini berdasarkan dampak yang ditimbulkan akibat santet tersebut, yaitu santet merah, santet kuning, santet putih dan santet hitam.
Santet merah merupakan santet yang bersifat pelaris saja. Jika seseorang yang berjualan tak laku, maka biasanya menggunakan santet ini agar dagangannya laris.
Orang Banyuwangi menyebut ini juga dengan istilah santet, yang tentu berbeda dengan orang Jawa bagian Tengah.
"Minta pelaris untuk orang jualan saja di Banyuwangi disebut santet" kata Latif.
Santet kuning merupakan santet bersifat memikat. Seperti "jaran goyang" dan "sabuk mangir" yang digunakan untuk memikat lawan jenis.
Sementara itu, santet putih biasanya dilakukan oleh kiai untuk menetralisasi santet merah, santet kuning, dan santet hitam. Biasanya kiai memberikan minuman khusus yang ditujukan oleh seseorang.
"Orang sakit meminta kesembuhan ke kiai dengan minum air yang sudah didoakan. Itu merupakan santet putih namanya," ujar Latif.
Adapum, santet hitam merupakan hal yang paling berbahaya. Melalui ilmu hitam ini, seseorang yang jadi sasarannya bisa mati.
Meski santet jadi bagian dari budaya, tentu saja tidak semua praktik santet itu dilakukan masyarakat Banyuwangi. Banyak anak-anak yang juga bisa melakukan teknik santet, karena sudah diturunkan dari orang tuanya masing-masing.
Radiogram bocor
Pembunuhan terhadap dukun santer pada Februari 1998 bermula dari kesalahpahaman terhadap santet. Karena santet dianggap sebagai perbuatan sihir jahat, agresif, bahkan digunakan untuk membunuh orang.
Saat itu, pelaku pembunuhan merupakan kelompok tidak dikenal. Untuk melindungi orang yang diduga dukun santet, Bupati Banyuwangi Purnomo Sidik mendata orang-orang yang masih memiliki kekuatan magis atau dukun. Setiap orang di pasar, sesepuh desa, hingga di lingkungan mana pun tak luput dari pendataan ini.
Dikutip dari Harian Kompas yang terbit 14 Oktober 1998, ia menginstruksikan semua camatnya untuk mengirim data tentang orang yang dianggap dukun santet di wilayahnya dengan tujuan menyelamatkan mereka.
Radiogram ini akhirnya bocor ke sekelompok orang. Awalnya bertujuan untuk menyelamatkan orang yang diduga mempunyai santet, radiogram malah menjadikan petaka.
Radiogram yang menulis lengkap nama-nama orang yang mempunyai ilmu santet malah menjadi sumber informasi bagi sekompok orang untuk melakukan penyisiran dan pembunuhan massal.
Operasi Naga Hijau dan Naga Merah
Selain memanfaatkan isu dukun santet di Banyuwangi, kelompok tidak dikenal ini diduga melakukan aksi keji ini setelah memahami peta santri di Jawa Timur.
Masyarakat Banyuwangi yang terkenal sebagai kawasan tapal kuda Nadhlatul Ulama (NU) diduga sengaja dipilih dengan motif politik.
Dugaan ini muncul mengingat situasi politik nasional memang tak menentu. Sebab, setelah Soeharto terpilih sebagai presiden pada Maret 1998 dalam Sidang Umum MPR, mulai muncul aksi demonstrasi yang mendesak Soeharto lengser.
Dampak isu dukun santet sungguh luar biasa. Banyak kiai atau guru agama yang dituduh sebagai dukun santet, kemudian dibunuh oleh kelompok tak dikenal yang tampil bak ninja.
Tak heran pembunuhan ini sering dinamakan "Operasi Naga Hijau", karena menyerang basis tapal kuda santri NU.
Aksi Geger Santet itu tetap muncul bahkan setelah Soeharto jatuh. Menurut Latif Kusairi, ada anggapan bahwa isu ini sengaja dibuat untuk membendung dominasi pemberitaan mengenai Kongres PDI di Bali pada Oktober 1998.
Kekacauan ini juga dianggap sebagai cara untuk bisa menghalau simpatisan PDI atau pendukung Megawati Soekarnoputri untuk mendatangi lokasi kongres. Jika melewati jalur darat, kita memang harus terlebih dulu ke Banyuwangi untuk kemudian melintasi laut menuju Bali.
Dengan demikian, ada dugaan bahwa Geger Santet juga sebagai bagian dari "Operasi Naga Merah".
Setelah beberapa bulan, pemerintah kemudian bertindak untuk membuat kondisi di Banyuwangi kondusif. Aparat keamanan diterjunkan guna mengawal kondisi ini agar kembali kondusif.
Namun, hingga saat ini pemerintah belum juga berhasil mengungkap kasus Geger Santet.
Terbaru, pada Januari 2019 silam, Komnas HAM telah meminta Presiden Joko Widodo untuk turun tangan dalam upaya pemulihan korban peristiwa pembunuhan berkedok dukun santet pada tahun 1998-1999.
Komnas HAM juga menyerahkan hasil penyelidikan Geger Santet kepada Kejaksaan Agung pada 14 November 2018. Namun, hingga sekarang belum ada tanda penuntasan kasus tersebut.
https://nasional.kompas.com/read/2019/05/17/15584021/pembunuhan-dukun-santet-1998-kesalahan-memahami-budaya-hingga-motif-politik
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan