Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga meminta agar proses penghitungan suara yang ditayangkan dalam Situng itu dihentikan.
Alasannya karena banyak terjadi kesalahan entry data yang berujung pada dirugikannya pasangan Prabowo-Sandi. Namun permintaan tersebut berujung pada penolakan KPU.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan Azis menegaskan, Situng dalam Pemilu 2019 tidak akan dihentikan.
"Situng ini baru akan dihentikan setelah semuanya selesai di-entry," ujar Viryan ketika dijumpai di Gedung KPU, Jakarta Pusat, Sabtu (4/5/2019).
Sebab Situng merupakan bentuk transparasi KPU. Ada hak publik untuk mendapatkan informasi mengenai proses rekapitulasi suara di dalamnya.
Manfaat Situng
Perlu dipahami bahwa Situng bukan alat penghitungan suara yang resmi. Penghitungan yang resmi dilakukan dengan rekapitulasi berjenjenang.
Meski demikian, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan Situng punya manfaat yang besar sekali.
"Sebenarnya KPU itu kan ingin memberi akses kepada publik untuk ikut mengawal proses penghitungan dan rekapitulasi suara dengan memberi akses melalui online," ujar Titi ketika dihubungi, Minggu (5/5/2019).
Sebelum KPU memiliki Situng, pengawalan penghitungan suara menjadi kemewahan yang hanya dimiliki peserta pemilu saja. Masyarakat bisa saja mendapatkan update dari penghitungan suara. Namun, aksesnya begitu terbatas.
Masyarakat harus datang sendiri ke tiap kelurahan dan kecamatan untuk ikut mengawal proses itu. Dengan Situng, kemewahan yang selama ini hanya didapatkan peserta pemilu juga diberikan kepada masyarakat.
Masyarakat tidak perlu datang langsung ke kelurahan hingga kecamatan untuk memantau penghitungan suara.
Pada akhirnya, ini justru membuka ruang partisipasi publik atas pelaksanaan pemilu.
Jika tak ada Situng...
Titi mengajak masyarakat membayangkan yang terjadi jika tidak ada Situng. Proses penghitungan suara pada Pemilu 2019 berlangsung sekitar 35 hari. Artinya, masyarakat akan langsung mengetahui hasil akhirnya maksimal pada 22 Mei 2019.
"Kalau enggak ada transparansi KPU, kita bisa berspekulasi macam-macam apa yang terjadi selama 35 hari di kecamatan itu? Di KPU kabupaten kota, KPU RI. Itu kan kita enggak bisa akses," kata Titi.
Pada akhirnya, potensi kecurangan yang terjadi selama proses penghitungan itu pun semakin besar. Parahnya, potensi kecurangan itu tidak bisa dipantau masyarakat karena tidak memiliki akses.
"Seperti sekarang, kita jadi tahu ada yang salah input, salah data itu ya karena sistemnya dibuka. Kalau ditutup mana bisa kita tahu ada salah input atau salah data," ujar dia.
Hitung manual paling penting
Soal kesalahan input yang ditemukan dalam Situng, Titi setuju bahwa KPU harus menindaklanjutinya. Sebab ini merupakan bagian dari profesionalisme KPU dalam menyelenggarakan pemilu.
Meski bukan alat penghitungan resmi, data yang ada pada Situng idealnya harus sama dengan penghitungan manualnya.
Namun jika terjadi kesalahan input, hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah hasil hitung manualnya.
"Kalau di Situng ada kesalahan, itu jadi alert bagi kita. Jadi peringatan bagi kita untuk mengecek, untuk memastikan bahwa penghitungan manualnya tidak terjadi kesalahan juga," kata Titi.
Sebab, belum tentu kesalahan pada Situng juga terjadi pada versi penghitungan manualnya. Oleh karena itu, penghitungan yang salah dalam Situng tidak bisa langsung disebut sebagai bentuk kecurangan.
Titi pun berharap Situng tetap digunakan sebagai bagian dari proses transparansi dan partisipasi publik.
"Kalau ini dihentikan, sebagai masyarakat saya merasa dirugikan karena saya mendapat manfaat dari keberadaan Situng," ujar dia.
https://nasional.kompas.com/read/2019/05/06/08030111/memahami-manfaat-situng-kpu-di-tengah-polemik-usulan-penghentiannya