Transparansi yang dimaksud, kata Bivitri, termasuk mempublikasikan panelis ahli yang berperan dalam proses seleksi tersebut.
"Kalau menurut saya sih panel ahli harus dibuka dari awal. Kita tahu sekarang ada tapi kemarin kan masih 'Siapa sih, siapa sih'. Itu kan harusnya dari awal terbuka," tutur Bivitri saat ditemui di Bakoel Koffie, Jakarta Pusat, Kamis (7/2/2019).
Selain itu, transparansi tersebut juga termasuk saat proses pemungutan suara. DPR, menurutnya, perlu membeberkan bagaimana mekanisme penilaian atau tolok ukur mereka dalam memilih hakim Konstitusi.
Bivitri mengungkapkan, jika standar DPR dalam memilih hakim kontitusi diketahui publik, keputusannya akan menjadi kuat.
"Cara mereka mengambil keputusan juga harus diumumkan dari awal, bagaimana sih cara mengambil keputusannya, apakah ada skor, dan sebagainya. Jadi legitimasinya juga kuat nanti orang yang terpilih itu," ucap dia.
Kemudian, Bivitri memberi masukan kepada DPR soal waktu seleksi. Ia menilai proses seleksi hakim MK oleh DPR terlalu pendek.
Menurut dia, hal ini menimbulkan kesan proses seleksi dilakukan terburu-buru demi memenuhi target, dan bukan kualitas hakim.
Oleh karena itu, ia meminta DPR memperpanjang waktu seleksi. Salah satu alasannya, agar masyarakat berkesempatan memberikan masukan.
"Memang total 5 hari sama pengambilan keputusan. Tapi buat saya perdebatannya mesti cukup lama, bukan hanya perdebatan tapi waktu untuk masyarakat ngasih masukan terlalu sempit," kata dia.
Oleh karena itu, ia mengungkapkan waktu 20 hari kerja seperti proses seleksi hakim agung dirasa lebih ideal.
Sejak Rabu (6/2/2019) hingga Kamis (7/2/2019), Komisi III DPR RI melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap 11 calon hakim MK.
Sebelas nama tersebut adalah Hestu Armiwulan Sochmawardiah, Aidul Fitriciads Azhari, Bahrul Ilmi Yakup, M Galang Asmara, Wahiduddin Adams, Refly Harun, Aswanto, Ichsan Anwary, Askari Razak, Umbu Rauta, dan Sugianto.
https://nasional.kompas.com/read/2019/02/07/21052601/dpr-diminta-transparan-dalam-seleksi-calon-hakim-mk