Cerita dimulai saat tahap penetapan calon legislatif, 20 September 2018, ketika itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak memasukan nama OSO dalam Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPD Pemilu 2019. Artinya, OSO dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai caleg.
KPU berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 30/PUU-XVI/2018. Putusan ini dibacakan pada Senin, (23/7/2018).
Melalui putusan tersebut, dinyatakan bahwa pengurus partai politik dilarang rangkap jabatan sebagai anggota DPD.
Dasar putusan tersebut kemudian digunakan oleh KPU untuk memperbarui PKPU nomor 14 tahun 2018 menjadi PKPU nomor 26 tahun 2018. KPU menambahkan frasa "pengurus partai politik" sebagai pihak yang tidak boleh rangkap jabatan sebagai anggota DPD.
Jika pun pengurus partai politik ingin maju sebagai caleg, maka syaratnya adalah mundur dari jabatan pengurus dan menyerahkan surat pengunduran diri itu ke KPU.
Namun demikian, sebelum akhirnya tidak dimasukan dalam DCT anggota DPD, KPU sempat memasukan nama OSO dalam Daftar Calon Sementara (DCS).
Kala itu, MK belum selesai melakukan uji materi, dan belum ada putusan mengenai larangan pengurus partai politik rangkap jabatan sebagai anggota DPD.
Mengajukan gugatan ke Bawaslu hingga PTUN
Atas dasar hal itu, OSO bersama kuasa hukumnya lantas mengajukan sengketa ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Namun, melalui sidang sengketa, permohonan OSO ditolak, dan Bawaslu tetap menyatakan pengusaha itu tidak dapat maju sebagai anggota DPD lantaran peraturan tersebut telah ditegaskan melalui putusan MK.
Tak puas terhadap putusan Bawaslu, OSO kemudian mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA) dan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam pandangan OSO dan tim kuasa hukum, namanya berhak masuk dalam DCT, lantaran sebelumnya sudah masuk dalam DCS. Tidak bisa kemudian KPU tak memasukan namanya ke DCT lantaran hal itu sama dengan memberlakukan putusan MK secara surut.
Sementara itu, KPU mengklaim, tahap pencalonan tidak berhenti di DCS, melainkan hingga penetapan DCT. Oleh karenanya, bisa saja KPU tak tetapkan OSO dalam DCT meskipun yang bersangkutan sempat masuk dalam DCS.
Selanjutnya, PTUN juga mengabulkan gugatan OSO. Melalui putusan Nomor 242/G/SPPU/2018/, PTUN memerintahkan KPU untuk membatalkan surat keputusan (SK) DCT anggota DPD yang tidak memuat nama OSO di dalamnya.
Majelis hakim juga memerintahkan KPU untuk menerbitkan SK DCT baru yang mencantumkan nama OSO di dalamnya.
KPU bertemu sejumlah ahli hukum
Atas tiga putusan lembaga peradilan tersebut, KPU mengalami dilema. Di satu sisi, KPU harus mematuhi putusan MK yang menyatakan pengurus partai politik dilarang menjadi anggota DPD.
Namun, di sisi lain, ada putusan MA. Muncul pula putusan PTUN yang memerintahkan KPU memasukan nama OSO ke DCT anggota DPD.
Tak ingin terburu-buru dan salah langkah, KPU lantas menggelar audiensi dengan sejumlah pihak, mulai dari MK hingga ahli hukum tata negara.
Berikut beberapa pihak yang menyampaikan pandangan dan saran mereka melalui audiensi dengan KPU:
1. Sejumlah ahli hukum tata negara yang dipimpin oleh pakar hukum Universitas Andalas Feri Amsari
Para ahli mendatangi kantor KPU Rabu (14/11/2018) berdasar permintaan KPU.
Mereka menyarankan KPU untuk menjalankan putusan MK yang melarang anggota partai politik rangkap jabatan sebagai anggota DPD.
Menurut Feri, putusan dari hasil uji materi MK dapat dikatakan sesuai dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Jika dalam hal ini KPU tak jalankan putusan MK, maka mereka bisa disebut mengabaikan UUD.
Putusan MK, juga bersifat final dan mengikat, yang berati berkekuatan hukum tetap sejak dibacakan dan mengikat seluruh masyarakat Indonesia.
2. MK diwakili oleh Hakim I Dewa Gede Palguna
Audiensi itu digelar di gedung MK, Kamis (22/11/2018), pasca KPU melayangkan permohonan.
Dalam pandangannya, Palguna memberi penegasan ke KPU bahwa putusan MK setara dengan Undang-Undang. Sehingga, semua lembaga dan warga negara, wajib untuk mematuhinya.
Palguna juga menegaskan bahwa putusan MK berlaku sejak putusan itu dibacakan. Putusan mengenai syarat pencalonan anggota DPD sendiri dibacakan pada 23 Juli 2018. Artinya, sejak tanggal tersebut, berlaku aturan anggota partai politik tak boleh maju sebagai calon anggota DPD.
3. Ahli hukum tata negara dan LSM yang diwakili Feri Amsari dan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini
Para ahli hukum berinisiatif mendatangi kantor KPU, Kamis (27/11/2018).
Feri menyarankan KPU untuk menyurati OSO. Isinya, meminta yang bersangkutan untuk mundur sebagai anggota partai politik untuk dapat dimasukan ke dalam DCT anggota DPD Pemilu 2019.
Feri juga menyarankan KPU mengajukan sengketa kewenangan antarlembaga ke MK terkait pencalonan OSO sebagai anggota DPD. Langkah tersebut bisa diambil KPU jika OSO tidak mau menyerahkan surat pengunduran diri sebagai anggota partai politik.
Sementara itu, Titi Anggraini meminta OSO berkonsentrasi mengurus partainya.
Titi mengatakan, tantangan partai politik dalam Pemilu 2019 berat, lantaran parliamentary threshold atau ambang batas parlemen naik menjadi 4 persen. Ada baiknya, pimpinan partai politik berkonsentrasi mengelola partainya supaya bisa melewati ambang batas parlemen.
4. Tim Kuasa Hukum OSO yang diwakili Diwakili oleh Gugum Ridho Putra dan Dodi Abdul Kadir
Mereka berinisiatif mendatangi kantor KPU, Jumat (30/11/2018).
Kepada KPU mereka menyampaikan pandangan bahwa tak ada pertentangan antara putusan MK, MA, dan PTUN.
Putusan MK dan MA, kata Gugum, substansinya sama, yaitu melarang anggota partai politik mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Tetapi, dalam pandangan MA, penerapan aturan tersebut tidak bisa dilakukan pada Pemilu 2019.
Sebab, putusan MK mengenai aturan itu muncul di tengah-tengah tahapan pencalonan anggota DPD.
Nama OSO, sebelumnya sudah masuk dalam daftar calon sementara (DCS) anggota DPD Pemilu 2019. Dalam pandangan kuasa hukum OSO, tidak bisa kemudian yang bersangkutan tidak dimasukan dalam Daftar Calon Tetap (DCT).
5. Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) yang diketuai oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD
Mahfud bersama 7 pakar hukum mendatangi kantor KPU, Senin (3/12/2018).
Ia menyarankan KPU untuk mengambil keputusan yang paling dekat dengan konstitusi dalam hal syarat pencalonan anggota DPD. Sebab, menurut Mahfud, induk dari semua hukum di Indonesia adalah konstitusi.
Selain itu, Mahfud juga menyarankan KPU untuk mengambil keputusan secara independen. Keputusan tersebut nantinya harus bisa dipertanggungjawabkan, supaya tidak mengganggu jalannya konstitusi.
6. Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan
Ia mendatangi kantor KPU bersamaan dengan Mahfud dan APHTN-HAN.
Bagir menyarankan KPU untuk mempertimbangkan sejumlah risiko sebelum mengambil keputusan soal pencalonan OSO sebagai anggota DPD.
Risiko-risiko yang dimaksud, kata Bagir, bukan hanya risiko hukum, tetapi juga risiko sosial, hingga politik.
Sikap KPU dan respons pihak OSO
Setelah mempertimbangkan banyak hal, KPU akhirnya bersikap meminta OSO untuk menyerahkan surat pengunduran diri dari pengus partai politik hingga Jumat (21/12/2018), sebagai syarat pencalonan diri jadi anggota DPD.
Jika sampai tanggal yang telah ditentukan OSO tak juga menyerahkan surat pengunduran diri, KPU tak akan memasukan yang bersangkutan ke dalam DCT anggota DPD.
Hingga batas waktu itu lewat, OSO tak juga menyerahkan surat pengunduran diri. KPU mempertegas, nama OSO tak masuk dalam DCT.
Alih-alih menyerahkan surat pengunduran diri, pihak OSO justru melaporkan Ketua KPU Arief Budiman dan Komisioner KPU Hasyim Asy'ari ke Bareskrim Polri.
Baik Arief maupun Hasyim dilaporkan ke Bareskrim atas tudingan tidak mau menjalankan putusan pengadilan. Keduanya juga dituduh melakukan tindakan makar.
Pihak OSO juga melaporkan KPU ke Bawaslu atas dua tudingan, yaitu dugaan pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana pemilu.
Laporan mengenai dugaan pelanggaran pidana pemilu dibuat oleh Kuasa Hukum OSO Firman Kadir, tertanggal 8 Desember 2018. Melalui laporannya, Firman menuding KPU melanggar pidana pemilu karena tak jalankan putusan PTUN.
Pelapor kedua atas nama Dodi Abdul Kadir, yang juga Kuasa Hukum OSO. Kepada Bawaslu, ia mengadukan surat KPU yang memerintahkan OSO mundur dari jabatan ketua umum. Laporan dibuat pada tanggal 18 Desember 2018.
Hingga saat ini, Bawaslu masih terus melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan KPU atas OSO.
Menurut Komisioner Bawaslu Rahmat Bagja, belum dapat dipastikan apakah proses yang berlangsung di Bawaslu nantinya dapat mengubah DCT anggota DPD dan status OSO. Hal itu, sangat bergantung dari hasil penyelidikan Bawaslu.
https://nasional.kompas.com/read/2018/12/30/08234331/kaleidoskop-2018-jalan-panjang-polemik-pencalonan-oso-sebagai-anggota-dpd