Mantan Kepala SMU 7 Mataram, Muslim, melaporkan Nuril dengan menggunakan UU tersebut.
Nuril dinyatakan bebas dari tuduhan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Mataram.
Namun, ia divonis bersalah dan melanggar UU ITE dalam kasasi yang diajukan kejaksaan di Mahkamah Agung.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, kasus yang menimpa Baiq Nuril bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat di era digital.
"Agar masyarakat juga berhati-hati dalam menggunakan digital. Menggunakan perangkat digital. Menggunakan media sosial ataupun sistem pesan yang instan seperti WhatsApp," kata Rudiantara saat ditemui di Hotel Sahid, Jakarta, Minggu (25/11/2018).
Menurut dia, UU ITE tidak perlu direvisi atau ditambahkan dengan Peraturan Pemerintah tertentu.
Alasannya, sudah ada aturan tentang perlindungan perempuan yang bisa memenuhi kebutuhan perempuan.
Dia mengatakan, Kemenkominfo akan berupaya agar pasal dalam UU ITE tidak disalahartikan atau disalahgunakan.
Salah satu upayanya adalah dengan menjadi saksi ahli dalam setiap kasus yang berkaitan dengan UU ITE.
"Diproses itu ada yang namanya memanggil saksi ahli. Saksi ahli itu adalah dari penyidik PNS. Kominfo mempunyai lebih dari 10 penyidik PNS. Biasanya Kementerian Kominfo yang dihadirkan," ujar Rudiantara.
Senjata bagi yang 'powerful'
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Hasto Atmojo, mengatakan pihaknya telah banyak menangani kasus yang berkaitan dengan UU ITE.
Ia menilai, UU ITE lebih banyak merugikan rakyat kecil.
Baiq Nuril bukan satu-satunya yang menjadi korban dari UU tersebut. Hasto berpendapat, UU tersebut perlu segera direvisi atau dilakukan judicial review.
""Saya desak dilakukan revisi atau judicial review terhadap undang-undang ini karena dalam praktiknya ini banyak mencelakakan orang kecil," ujar Hasto.
Hasto mengatakan, ia pernah mendapatkan data bahwa pihak yang memanfaatkan UU ITE sebanyak 35 persen adalah pejabat dan 29 persen adalah profesional.
Sementara, sebagian besar yang menjadi korban adalah mereka yang awam terkait UU ITE ini.
"Artinya UU ITE ini memberi fasilitasi kepada elite," ujar Hasto.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR Meutya Hafid juga setuju dengan hal itu. Dia mengakui bahwa Undang-Undang ITE kerap digunakan oleh orang yang punya kuasa lebih besar terhadap orang yang kekuasaanya lebih rendah.
Salah satunya terjadi dalam kasus Baiq Nuril.
"Memang sayangnya banyak digunakan orang powerful kepada orang powerless," ujar Meutya.
Meutya mengatakan, seharusnya ada sosialisasi lebih lanjut terkait penerapan UU ITE. Bukan hanya kepada masyarakat, melainkan juga pada penegak hukum yang menjalankan UU tersebut.
Harus tetap ada
Misalnya, ucapan SARA dan pencemaran nama baik yang gencar di media sosial.
"Artinya tidak cuma orang lemah, tapi ada orang-orang di sosmed yang tidak lemah tapi memang sering menjelekkan orang lain. Ada terkait dengan SARA juga. Itu yang sebenarnya kita sasar (dengan UU ITE)," ujar Meutya.
Dalam kasus Baiq Nuril ini, secara pribadi Meutya menilai tidak ada pelanggaran UU ITE di dalamnya.
Menurut dia, putusan MA yang justru tidak tepat dengan substansi UU ITE.
"Bahwa dalam kasus Ibu Nuril, masalahnya bukan di UU ITE. Masalahnya di penegak hukum dalam hal ini Mahkamah Agung yang menurut saya tidak senafas dengan Undang-Undang yang dia gunakan untuk menghukum orang," ujar Meutya.
Meutya mengatakan, Nuril bukan pihak yang menyebarkan rekaman percakapan asusila tersebut.
Hal itu telah dibuktikan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Mataram. Meutya mengatakan putusan PN Mataram sudah tepat.
"Saya menyayangkan putusan MA terhadap Baiq Nuril. Saya justru menguatkan putusan Pengadilan Negeri ya, menurut saya itu yang memiliki atau senafas dengan yang ada dalam UU ITE," kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2018/11/26/06274191/kasus-baiq-nuril-dan-tanda-tanya-penerapan-uu-ite