Salin Artikel

Perang Data Jokowi-Prabowo, Siapa yang Benar?

SALING serang antara kubu pasangan nomor urut 01 dan 02 belakangan terdengar semakin masif. Cawapres Sandiaga Uno pernah menyebut soal tempe setipis kartu “ATM” yang dibalas kubu Jokowi-Ma’ruf dengan data tingkat kemiskinan.

Ada juga istilah “ekonomi kebodohan” yang dilontarkan Capres Prabowo Subianto yang dibalas dengan tudingan bahwa Prabowo-Sandi sulit merakyat karena berasal dari keluarga kaya.

Kampanye-kampanye ini berhasil meraih panggung media sosial dan media massa nasional. Pembahasan tak pernah berhenti di ranah media, baik arus utama maupun blog pribadi.

Setiap pekan selalu ada hal baru yang ditampilkan dan renyah jadi pembahasan hingga seolah tak lagi diperlukan cek dan ricek di lapangan.

Apakah data itu benar? Atau sekadar karangan untuk gimmick kampanye belaka?

Yang lebih penting lagi, apakah data-data sederhana yang dilempar ke publik ini bisa secara langsung membantu warga Indonesia, khususnya pemilih, untuk memahami program, visi, misi pasangan calon?

Atau tak lebih hanya guyonan politik yang ada di panggung kampanye?

Program AIMAN yang akan tayang nanti malam, Senin (29/10/2018) pukul 20.00 wib, mengupas masalah ini.

Aiman mendatangi langsung tempat-tempat yang diklaim kedua pihak (Jokowi dan Prabowo)  menjadi dasar penghitungan mereka dari angka-angka ekonomi sederhana yang dijadikan "jualan" kampanye.

Aiman mengupas pula angka kemiskinan riil yang sebelumnya diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikatakan turun menjadi satu digit yang tidak pernah ada sepanjang sejarah Republik berdiri. Mana yang nyata?

AIMAN buktikan klaim kedua pihak

Saya mendatangi sejumlah tempat di Jakarta yang bisa menjawab data-data di atas. Memang tidak perlu jauh-jauh mengecek data-data ini. Tempat untuk mengeceknya ada di sekeliling kita.

Tibalah saya di sebuah tempat yang marak menjual makanan. Ada puluhan warung hingga restoran "chicken rice" alias nasi ayam yang berbaris di sepanjang jalan.

Saya mendatangi sebuah warung sederhana nasi ayam ala restoran cepat saji. Di tempat ini nasi dan ayam dijual hanya Rp 14.000

Sementara, nasi ayam di tempat yang lebih elite yang menempel pula coffee shop di dalamnya, makanan ini dibanderol seharga tak lebih dari Rp 27.500. Saya juga membeli tempe yang ternyata tidak setipis kartu ATM.

Lalu, di mana nasi ayam Rp 50.000 yang menurut Sandiaga lebih mahal dari harga di Singapura yang disebutnya 3,5 Dolar Singapura alias Rp 35.000?

Saya mendapatkan harga ini di restoran hotel berbintang 5 di Jakarta dan segelintir restoran yang memang terkenal mahal. Harganya bahkan ada yang mencapai Rp 100.000

Di Singapura, nasi ayam Rp 35.000 terdapat di food court, katakanlah di Lucky Plaza di Orchard Road.

Bagaimana dengan klaim kemiskinan yang menurun sepanjang sejarah Republik, menjadi hanya 1 digit, yang tidak pernah terjadi sebelumnya?

Saya mengeceknya ke sebuah warung nasi sungguh sederhana. Luasnya, tak lebih dari 3 kali 3 meter. Perkiraan saya, pendapatan warung ini sehari tak lebih dari Rp 100.000.

Ternyata apa yang saya dapatkan?

Pemilik warung dengan jujur mengatakan, pendapatannya sehari mencapai Rp 400.000. Keuntungan bersihnya sekitar Rp 200.000. Artinya, ia bisa mendapat Rp 5-6 juta per bulan dari warung sederhananya itu.

Sementara, data BPS menyatakan, garis kemiskinan di Indonesia menyentuh angka 2,5 dolar Amerika per hari atau sekitar Rp 1,1 juta per bulan.

Saya tanyakan ke ibu warung tadi, apakah Rp 5-6 juta pendapatannya itu habis dalam sebulan untuk hidup?

Tegas ia menyatakan habis, nyaris tak bersisa. Digunakan untuk kebutuhan hidup, cicilan rumah, kontrakan warung, hingga kebutuhan anaknya.

Saya lanjutkan pertanyaan, bagaimana jika pendapatan bersihnya hanya Rp 2 juta sebulan, angka yang tidak dianggap miskin oleh negara?

Ia geleng-geleng kepala, "pasti tak cukup dong, Mas!"

Hilangnya Daya Kritis Kita

Menjelang Pemilu, perang data gencar dilakukan. Tapi mengapa seolah warga banyak kehilangan daya kritisnya, terutama para pendukung, menerima begitu saja klaim dari calon yang hendak dipilihnya.

Bahkan, pendukung kubu yang berseberangan juga tak jarang hanya menelan mentah informasi yang disampaikan sejumlah tokoh.

Disinformasi dibiarkan seolah menjadi kebenaran, tanpa ada satu pun yang mengeceknya.

Ah, tapi bagi mereka mungkin tak penting. Satu informasi, terlepas benar atau salah, yang penting bisa digunakan untuk menguatkan argumentasi bagi sang calon yang didukungnya.

Padahal, ada hak orang lain untuk tahu akan hal sebenarnya. Bukankah Pemilu yang sehat adalah Pemilu yang Jujur baik proses maupun pelaksanaannya?

Tugas yang seharusnya diemban seluruh warga adalah mengecek segala data di era informasi yang egaliter dan membludak seperti saat ini.

Saya Aiman Witjaksono...
Salam.

https://nasional.kompas.com/read/2018/10/29/07395131/perang-data-jokowi-prabowo-siapa-yang-benar

Terkini Lainnya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Bingung Mau Siapkan Jawaban

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Bingung Mau Siapkan Jawaban

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

Nasional
Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Nasional
Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Nasional
Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Nasional
Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Nasional
Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Nasional
Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke