“Narasi yang dibangun cenderung pada hal-hal yang melahirkan kegaduhan ketimbang membangun diskursus yang berbasis adu program di antara para pendukung paslon,” kata Titi kepada Kompas.com, Sabtu (13/10/3018).
Menurut dia, bila kampanye pemilu digunakan sebagai bagian dari aktivitas pendidikan politik, kampanye oleh setiap tim pemenangan paslon akan jauh dari desain yang saling serang dan reaktif.
Titi menyayangkan sikap dan perilaku kedua belah pihak pasangan capres dan cawapres yang menikmati sahut-sahutan pertengkaran politik. Hal itu, menurut dia, hanya mengarah ke debat kusir yang tak ada juntrungannya.
“Ujung-ujungnya ruang publik kita makin gaduh, masyarakat makin terbelah, asyik bertengkar, agenda program dan gagasan makin menjauh dari perbincangan dan fokus perhatian pemilih,” kata Titi.
“Kalau pendekatan ini tidak cepat-cepat diubah, saya khawatir pemilih kita bisa jenuh dan bahkan akhirnya pesimis pada proses penyelenggaraan Pemilu 2019,” ujar Titi.
Ia menambahkan, bukan tidak mungkin publik justru tidak tertarik pada isu pemilu dan tidak termotivasi untuk menggunakan hak suara pada hari pemungungutan suara 17 April 2019.
Titi berharap setiap paslon bisa lebih fokus menawarkan program dan gagasan serta mengajak pemilih mendialogkan visi, misi, dan program yang mereka bawa.
“Paslon dan timnya punya tanggung jawab untuk melakukan pendidikan politik, mestinya mereka tidak larut dalam pertengkaran di media sosial ataupun ruang publik dengan isu-isu yang cenderung hanya menghasut emosional pemilih,” kata Titi.
https://nasional.kompas.com/read/2018/10/13/09283111/perludem-2-pasangan-capres-cawapres-masih-terbelenggu-kampanye-saling