Fadli menilai, keputusan tersebut tidak adil. Sebab, ada eks koruptor yang tak lolos menjadi bakal caleg pada masa pendaftaran lalu.
"Jadi harus berlaku adil. Kalau boleh, boleh semua. Kalau tidak boleh, ya tidak boleh semua. Saya kira ini yang harus tegas karena kalau ada yang satu boleh, yang lain tidak boleh ini jelas ketidakadilan," ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (31/8/2018).
Di sisi lain, lanjut Fadli, pelarangan soal napi eks koruptor menjadi bacaleg seharusnya diatur juga dalam undang-undang.
Dengan begitu, aturan tersebut akan berlaku secara menyeluruh bagi orang-orang yang mendaftar sebagai bacaleg.
Saat ini, aturan pelarangan eks koruptor menjadi bacaleg belum bersifat tegas karena hanya diatur dalam Peraturan KPU (PKPU).
"Dan ini harus ada aturan yang jelas. Aturan itu diatur oleh UU, kemudian ada aturan lain," kata Fadli.
"Saya kira semangat dari KPU untuk masalah caleg yang pernah terlibat korupsi itu semangat yang bagus. Tapi kan harus ada kuat dukungan dari peraturan yang ada di atasnya," ucapnya.
Bawaslu meloloskan lima eks koruptor sebagai bakal caleg. Mereka berasal dari Rembang, Pare-Pare, Aceh, Tana Toraja, dan Sulawesi Utara.
Pada masa pendaftaran bacaleg, mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU. Kelimanya lantas mengajukan sengketa pendaftaran ke Bawaslu dan Panwaslu setempat.
Hasil sengketa menyatakan ketiganya memenuhi syarat (MS). Keputusan Bawaslu meloloskan mantan napi korupsi sebagai bacaleg lantaran mereka mengklaim berpedoman pada Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, bukannya pada PKPU nomor 20 tahun 2018.
Dalam UU Pemilu, mantan narapidana korupsi tidak dilarang untuk menjadi caleg.
PKPU tersebut sudah diajukan uji materi ke Mahkamah Agung oleh para mantan koruptor yang ingin menjadi wakil rakyat.
Namun, uji materi tersebut ditunda sementara karena UU Pemilu tengah diuji materi di Mahkamah Konstitusi.
https://nasional.kompas.com/read/2018/08/31/14464851/fadli-zon-nilai-bawaslu-tak-adil-loloskan-bakal-caleg-eks-koruptor