Salin Artikel

Kasus BLBI, KPK Nilai Kesaksian BPK dan Petambak Perkuat Dakwaan

"Kami pandang persidangan demi persidangan semakin memperkuat bukti yang diajukan KPK," kata Febri dalam keterangan tertulisnya, Kamis (26/7/2018).

"Di antaranya beda antara audit BPK 2006 dan 2017 yang secara berulang sering dipersoalkan oleh pihak terdakwa hingga hubungan hukum antara dua perusahaan dengan BDNI dan petambak Dipasena," ujarnya.

Febri mengungkapkan, saksi dari BPK bernama Arif Agus mampu menjelaskan perbedaan audit tahun 2006 dan 2017. Pada tahun 2006, audit yang dilakukan BPK merupakan audit kinerja.

"Bahwa dimungkinkan, meskipun dengan objek audit yang sama hasil audit kinerja dan audit dengan tujuan tertentu hasilnya bisa berbeda, tergantung data dan bukti yang dimiliki oleh auditor," kata Febri.

Selain itu, Arif juga menjelaskan penyerahan daftar aset dari BPPN ke Kementerian Keuangan dilakukan sebanyak dua kali.

Penyerahan pertama daftar aset sementara pada 27 Februari 2004 dan penyerahan terakhir pada 30 April 2004.

"Dalam kurun waktu 27 Februari 2004-30 April 2004, BPPN masih melaksanakan tugas meskipun masa tugas BPPN sudah berakhir dengan dibentuk BPPN kecil sehingga pengelolaan bunysis masih di bawah kewenangan BPPN," kata Febri.

Selain itu, kata Febri, Arif juga menuturkan bahwa Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan tidak pernah menerima pelimpahan hak tagih hutang petambak.

"Komposisi kepemilikan saham PT Gajah Tunggal terakhir dimiliki oleh Denham Singapore dengan kepemilikan saham pada tahun 2012 sebesar 49,70 persen," ungkapnya.

Di sisi lain, Febri juga menyinggung kesaksian para petambak.

Menurut dia, para petambak udang memang pernah melakukan penandatanganan perjanjian kerja sama dengan PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan perjanjian kredit dengan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Saat itu petambak mendapat pinjaman sebesar Rp 135 juta, yang terbagi menjadi dua jenis kredit yaitu kredit investasi sebesar Rp 90 juta dan kredit modal kerja sebesar Rp 45 juta.

"Di mana petambak tidak menerima secara tunai akan tetapi BDNI menyerahkan uang kepada PT DCD, dan oleh DCD diberikan kepada petambak dalam bentuk rumah tempat tinggal, tambak udang, bibit udang, obat-obatan untuk udang dan bahan pokok untuk hidup sehari-hari para petambak," ujar Febri.

Selain itu, pada saat melakukan penandatangan perjanjian kerja sama dengan PT DCD dan perjanjian kredit dengan BDNI, para petambak tidak dijelaskan mekanisme pembayaran kredit kepada BDNI dan berapa lama jangka waktu pembayaran kepada BDNI.

"Petambak menyetorkan seluruh udang yang diproduksi kepada PT DCD dan harganya ditentukan sepihak oleh DCD dan atas penjualan tersebut petani tidak mendapat uang dari DCD karena digunakan sebagai angsuran ke BDNI," kata Febri.

Kemudian pada 1999 terjadi kerusuhan di Dipasena karena petambak merasa tidak ada transparansi dari DCD tentang jumlah hutang petambak kepada BDNI yang tidak kunjung lunas.

"Petambak tidak mengetahui ada pinjaman ada yang berbentuk dollar, DCD tidak pernah terbuka, menurut petambak mereka selalu lancar menyetorkan udang, masalah DCD tidak melakukan penyetoran ke BDNI petambak tidak mengetahuinya," ucap Febri.

https://nasional.kompas.com/read/2018/07/27/09015061/kasus-blbi-kpk-nilai-kesaksian-bpk-dan-petambak-perkuat-dakwaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke