ICJR meminta pemerintah pusat mengevaluasi serta menghapus penerapan hukuman tersebut.
"Hukuman cambuk dalam Qanun Jinayat telah memperkuat legitimasi penggunaan hukuman terhadap badan/tubuh di Indonesia," ujar Direktur Eksekutif ICJR Anggara dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Sabtu (14/7/2018).
Padahal, menurut ICJR, sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk.
Penerapan hukuman itu dianggap merupakan pelanggaran hukum internasional tentang penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau tidak bermartabat lainnya yang tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Kemudian, bertentangan dengan Konvensi Internasional Melawan Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (UN CAT).
Menurut ICJR, hukuman cambuk tidak hanya digunakan untuk mempermalukan pelaku tindak pidana, tapi juga untuk menyakiti baik secara psikis maupun fisik yang secara jelas dan tegas telah dilarang dalam hukum nasional maupun Internasional.
Qanun Jinayat yang dinilai banyak bertentangan dengan konstitusi dan undang-undang nasional, dianggap telah melanggar Pasal 8 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Qanun sebagai sebuah peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Dalam hal ini konstitusi dan undang-undang.
"Hukuman cambuk telah mencoreng wajah Indonesia dalam komitmen melindungi dan menghormati hak asasi manusia (HAM), disamping penggunaannya yang justru tidak bermanfaat dan efektif dalam menanggulangi kejahatan," kata Anggara.
Selain itu, ICJR juga mengkritik terkait akses advokat dan bantuan hukum dalam kasus-kasus Qanun Jinayat di pengadilan Mahkamah Syariat Aceh yang cenderung lemah.
Hal ini dinilai justru akan melemahkan pembelaan yang dilakukan oleh para tersangka dan terdakwa dalam rangka memperjuangkan hak-haknya di depan pengadilan.
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/15/09281441/icjr-hukuman-cambuk-mencoreng-wajah-indonesia