Hal itu mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
"Hanya di dalam keadaan darurat militer, militer yang menjadi leading sector dalam mengatasi gangguan keamanan dan polisi sifatnya membantu," ujar Al kepada Kompas.com, Kamis (31/5/2018).
Selain itu, menurut Al, pelibatan militer dalam mengatasi terorisme baru bisa direalisasikan jika aparat penegak hukum atau Polri menyatakan butuh dukungan.
Situasi tersebut terjadi bila ekskalasi ancaman teror yang meningkat tinggi dan mengancam kedaulatan negara.
"Dengan kata lain pelibatan militer baru bisa dilakukan dalam mengatasi terorisme jika penegakan hukum membutuhkan dukungan dari TNI," kata Al.
Pelibatan militer, lanjut Al, juga mensyaratkan adanya keputusan politik dari presiden.
Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan bahwa pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang, hanya bisa dilakukan jika ada keputusan politik presiden.
Artinya, militer tidak bisa bergerak mengatasi terorisme tanpa ada keputusan presiden.
Oleh sebab itu Al berharap penyusunan Peraturan Presiden (Perpres) pelibatan TNI pasca-pengesahan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme), tidak boleh bertentangan dengan UU TNI.
"Perppres pelibatan TNI tidak boleh bertentangan dengan undang-undang TNI," tuturnya.
Sebelumnya, draf revisi UU Antiterorisme yang baru disahkan di Rapat Paripurna DPR pada Jumat, (25/5/2018) lalu, mengatur pelibatan TNI mengatasi terorisme.
Pelibatan TNI tersebut merupakan bagian dari operasi militer selain perang (OMSP) sesuai tugas pokok dan fungsi TNI.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelibatan TNI ini akan diatur dengan Peraturan Presiden (perpres).
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/31/17133311/imparsial-keterlibatan-tni-atasi-terorisme-harus-di-bawah-kendali-polri