Pertama, Ferry mengkritik wacana swasembada pangan yang dikesampingkan melalui impor beras dalam jumlah besar tanpa mekanisme jelas.
"Impor beras ke Indonesia, biasanya didahului mekanisme mobilisasi pengadaan gabah dalam negeri terlebih dahulu. Saya melihat pemerintah tidak melakukan itu," kata Ferry dalam diskusi rilis "Survei Nasional Evaluasi 3,5 Tahun Joko Widodo-Jusuf Kalla: Quo Vadis Nawacita?" di Hotel Atlet Century Park, Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Menurut dia, mekanisme seperti itu membuat negara tidak gegabah dalam melakukan impor beras. Ferry juga menilai tak adanya koordinasi dengan seluruh dinas pertanian di Indonesia terkait dengan kondisi beras di Indonesia.
Di sisi lain, ia juga menyesalkan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Ia mencontohkan, kebijakan larangan cantrang dinilainya menjatuhkan kinerja para nelayan.
"Cantrang itu dianggap sama dengan troll. Troll itu di zaman Soeharto memang salah karena dia menarik dan merusak habitat. Kalau cantrang enggak ditarik. Gimana nelayan enggak bisa dilengkapi alat tangkapnya, kemudian suruh cari ikan," ujar Ferry.
Ferry juga menyoroti kebijakan tenaga kerja asing yang mengkhawatirkan. Menurut dia, kebijakan ini cenderung membahayakan dan menimbulkan potensi kecemburuan sosial antara pekerja dalam negeri dan luar negeri.
"Mereka mengambil pekerjaan yang seharusnya bisa diambil pekerja Indonesia. Padahal janjinya (Jokowi-JK) kan menciptakan 10 juta lapangan kerja. Tapi malah memberikan kesempatan untuk negara lain," kata dia.
Terakhir, Ferry menyesalkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang sudah menembus Rp 14.200. Ia khawatir situasi itu semakin mengguncang perekonomian dalam negeri dan menyusahkan masyarakat.
"Kalau lhat dari sisi ekonomi saya ingin menyampaikan hancur. Saya enggak tahu ke depan efeknya akan seberapa besar," ujar dia.
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/23/07222111/35-tahun-jokowi-jk-gerindra-kritik-capaian-ekonomi-belum-maksimal