Salin Artikel

Setelah Reformasi, Uang Bergambar Soeharto Pun Ditolak Pedagang...

Bukan hanya para pejabat negara yang berusaha menjauhkan hubungannya dengan orang yang berkuasa di Indonesia selama 32 tahun. Namun, uang pecahan Rp 50.000 bergambar wajah Soeharto pun tak laku, bahkan dijauhi masyarakat.

Hal ini dituliskan secara menarik oleh Kompas yang terbit pada 31 Agustus 2000, dua tahun setelah Soeharto jatuh.

Dalam artikel itu digambarkan pedagang hingga pegawai kafe ogah dibayar atau menerima tips uang bergambar Soeharto.

Di wilayah Palmerah Barat, misalnya. Seorang pedagang nasi tak mau dibayar pelanggannya dengan uang emisi tahun 1993 atau 1995 itu. Pedagang nasi itu minta pelanggannya membayar memakai uang lain atau pecahan lain.

"Kalau gambar Soeharto beginian udah kagak laku lagi. Di mane-mane juga ditolak," kata pemilik warung nasi.

Ogah sial

Saat artikel itu ditulis, uang itu memang sudah ditarik Bank Indonesia sejak 21 Agustus 2000. Namun, masa penarikan berlaku 10 tahun. Artinya, uang itu baru benar-benar tak dapat digunakan sebagai alat transaksi pada 20 Agustus 2010.

Namun, tetap saja warga menolak menerima uang itu.

Hal yang sama juga terlihat di kawasan hiburan di Jalan Manggabesar. Di sebuah coffee shop yang digabung dengan usaha pijat, kasir menolak pembayaran dengan menggunakan uang Rp 50.000 bergambar wajah Soeharto.

Tidak hanya itu, bahkan terdapat pengumuman di loket: "Tidak menerima pembayaran pakai uang bergambar Soeharto".

Para pramuria juga enggan menerima tips dari pengunjung dengan uang yang juga memiliki gambar pembangunan Indonesia itu. Tak jarang hal ini menyebabkan pertengkaran mulut kasir atau pramuria dengan pengunjung.

"Alah, kalian, kan, bisa nukerin uang ini di bank. Jangan mempersulit pengunjung dong," ujar seorang pengunjung.

Namun, tetap saja tidak ada yang bersedia menerima uang pecahan Rp 50.000 itu.

"Saya kalau memegang uang Soeharto jadi sial," ujar seorang pramuria.

Penolakan yang sama juga dilakukan pedagang televisi yang berjualan di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Mereka bahkan rela membatalkan transaksi jika pembeli hanya memiliki uang bergambar Soeharto.

Meski begitu, alasan pedagang di Glodok ini lebih masuk akal. Mereka tidak mau repot untuk menukarkannya ke Bank Indonesia.

Selain itu, para pembeli juga banyak yang tidak mau menerima kembalian uang bergambar "The Smiling General" itu.

Hal ini tentu saja merepotkan calon pembeli. Apalagi, banyak dari mereka yang tidak tahu kalau uang itu akan ditolak.

Salah satunya dirasakan Muslih. Pria asal Mauk, Tangerang, itu membawa sekitar 13 lembar uang kertas Soeharto. Namun, dia terpaksa menunda membeli televisi, karena uang yang ia bawa tidak cukup lagi.

"Saya heran, di mana-mana uang Soeharto ditolak sebagai alat membayar. Padahal, saya, kan, orang kampung yang tidak pernah membaca koran atau dengerin berita," ujar Muslih (47).

Bank Indonesia sendiri memiliki alasan saat kali pertama mengeluarkan uang itu pada 22 Februari 1993. Dilansir dari Kompas terbitan 23 Februari 1993, uang itu dirilis untuk memperingati 25 tahun Indonesia membangun.

Gambar Soeharto tersenyum berada di satu sisi. Gambar pesawat Garuda lepas landas dengan latar belakang Bandara Soekarno Hatta berada di sisi lainnya. Terdapat juga watermark bergambar Jenderal Sudirman agar uang tidak mudah dipalsukan.

Bahan yang digunakan dalam uang itu adalah plastik atau polymer substrate. Ini merupakan uang plastik pertama yang dikeluarkan di Indonesia, dengan teknologi pencetakan dari Australia.

Dengan menggunakan bahan plastik, masa edar akan lebih lama ketimbang uang kertas. Uang tidak akan mudah lusuh, dan gambar yang tercetak lebih bagus serta lebih tajam

"Tema pada gambar depan uang Rp 50.000 adalah tentang pembangunan Indonesia. Pada gambar depan terpampang Presiden Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Indonesia, dan di sekelilingnya kegiatan pembangunan di pelbagai sektor," kata Gubernur BI saat itu, Adrianus Mooy.

Uang ini sendiri terbilang pecahan baru. Karena itu, Adrianus Mooy meyakinkan masyarakat bahwa peredaran uang tidak mempengaruhi jumlah uang yan beredar atau tingkat inflasi.

Pecahan Rp 50.000 justru diluncurkan untuk menunjang transaksi yang terus meningkat.

"Mungkin tadinya bank-bank datang ke BI menarik uang mereka dari BI, biasanya mereka meminta Rp 20.000. Nanti mungkin bank-bank minta Rp 50.000 sehingga pecahan Rp 20.000 kurang terpakai. Jadi begitu ada pecahan yang besar, ada pecahan-pecahan kecil yang tidak akan digunakan. Jadi tidak ada hubungannya dengan uang beredar," kata Gubernur BI.

Jadi koleksi

BI kemudian kembali mengeluarkan edisi baru uang bergambar Soeharto pada emisi 1995. Dengan demikian, ada dua edisi uang Rp 50.000 bergambar Soeharto, yaitu emisi 1993 dan 1995.

Meski kini sudah tak lagi bisa dipakai transaksi, uang itu masih diburu kolektor. Anda pun bisa dengan mudah menemukannya di situs marketplace seperti Tokopedia atau Bukalapak.

Harga yang ditawarkan di Tokopedia atau Bukalapak bervariasi. Ada yang membanderol seharga Rp 50.000. Ada juga yang membanderol dengan harga di atas Rp 300.000.

Harga banderol itu tergantung keunikan uang, baik itu edisi cetakan atau kondisi uang.

Jika Anda masih memiliki uang bergambar Soeharto sekarang, tak usah panik. Meski tak bisa lagi ditukarkan di BI, bisa saja uang itu dijual online. Atau, jika mau menyimpannya sebagai koleksi pun tak masalah.

https://nasional.kompas.com/read/2018/05/21/15301601/setelah-reformasi-uang-bergambar-soeharto-pun-ditolak-pedagang

Terkini Lainnya

Airin dan Ahmed Zaki Dekati PKB untuk Pilkada 2024

Airin dan Ahmed Zaki Dekati PKB untuk Pilkada 2024

Nasional
Anggota DPR Diduga Terima THR dari Kementan, KPK: Bisa Suap, Bisa Gratifikasi

Anggota DPR Diduga Terima THR dari Kementan, KPK: Bisa Suap, Bisa Gratifikasi

Nasional
Mendagri Serahkan Data Pemilih Potensial Pilkada 2024, Jumlahnya 207,1 Juta

Mendagri Serahkan Data Pemilih Potensial Pilkada 2024, Jumlahnya 207,1 Juta

Nasional
Hardiknas 2024, Fahira Idris: Perlu Lompatan Peningkatan Kualitas Pengajaran hingga Pemerataan Akses Pendidikan

Hardiknas 2024, Fahira Idris: Perlu Lompatan Peningkatan Kualitas Pengajaran hingga Pemerataan Akses Pendidikan

Nasional
Sadar PTUN Tak Bisa Batalkan Putusan MK, PDI-P: Tapi MPR Punya Sikap untuk Tidak Melantik Prabowo

Sadar PTUN Tak Bisa Batalkan Putusan MK, PDI-P: Tapi MPR Punya Sikap untuk Tidak Melantik Prabowo

Nasional
Surya Paloh Sungkan Minta Jatah Menteri meski Bersahabat dengan Prabowo

Surya Paloh Sungkan Minta Jatah Menteri meski Bersahabat dengan Prabowo

Nasional
Anies Respons Soal Ditawari Jadi Menteri di Kabinet Prabowo atau Tidak

Anies Respons Soal Ditawari Jadi Menteri di Kabinet Prabowo atau Tidak

Nasional
Ajukan Praperadilan Kasus TPPU, Panji Gumilang Minta Rekening dan Asetnya Dikembalikan

Ajukan Praperadilan Kasus TPPU, Panji Gumilang Minta Rekening dan Asetnya Dikembalikan

Nasional
KPU Bantah Tak Serius Ikuti Sidang Sengketa Pileg Usai Disentil Hakim MK: Agenda Kami Padat...

KPU Bantah Tak Serius Ikuti Sidang Sengketa Pileg Usai Disentil Hakim MK: Agenda Kami Padat...

Nasional
Sedih karena SYL Pakai Duit Kementan untuk Keperluan Keluarga, Surya Paloh: Saya Mampu Bayarin kalau Diminta

Sedih karena SYL Pakai Duit Kementan untuk Keperluan Keluarga, Surya Paloh: Saya Mampu Bayarin kalau Diminta

Nasional
Hari Tuna Sedunia, Kementerian KP Siap Dorong Kualitas, Jangkauan, dan Keberlanjutan Komoditas Tuna Indonesia

Hari Tuna Sedunia, Kementerian KP Siap Dorong Kualitas, Jangkauan, dan Keberlanjutan Komoditas Tuna Indonesia

Nasional
Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Nasional
Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat Hingga 16 Tahun

Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat Hingga 16 Tahun

Nasional
Soal Lebih Baik Nasdem Dalam Pemerintah atau Jadi Oposisi, Ini Jawaban Surya Paloh

Soal Lebih Baik Nasdem Dalam Pemerintah atau Jadi Oposisi, Ini Jawaban Surya Paloh

Nasional
Sentil Pihak yang Terlambat, MK: Kalau di Korea Utara, Ditembak Mati

Sentil Pihak yang Terlambat, MK: Kalau di Korea Utara, Ditembak Mati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke