Wajar saja ekspresi mereka gelisah, karena beberapa bulan sebelumnya di Situbondo, 22 gereja dan bangunan keagamaan dirusak dan dibakar dalam waktu sehari. Para pastor itu berasal dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Mereka mengundang Gus Dur untuk berbicara dalam seminar di sebuah sekolah teologi. Sebenamya sebanyak 400 orang yang meminta hadir, tetapi tempat pertemuan di sekolah teologi itu tidak memungkinkan.
Di atas podium tertulis, "Seminar Studium General". Dan di bawahnya tertulis lagi, "Membangun Persaudaraan Sejati".
Saat menjadi pembicara di seminar tersebut, Gus Dur berbicara tanpa teks. Salah satu ceramahnya pada saat itu ia mengeluh orang beragama Islam hanya tahu sedikit tentang bahasa Arab, tetapi merasa tahu segalanya. Pengetahuan agamanya jauh lebih baik para ulama dahulu, tetapi mereka itu tidak suka menonjolkan diri.
(Baca: "Malam-malam Kangen Gus Dur", Puisi dari Seorang Pastor)
"Orang Islam tidak lagi mau menggunakan kata minggu, mereka memilih kata ahad. Tetapi, saya katakan kepada Anda kita tidak akan lebih baik dalam ber-Islam meskipun kita memilih kata ahad bukan minggu,” kata Gus Dur.
Sebagaimana biasanya, ceramah Gus Dur penuh dengan lelucon. Dia menambahkan lelucon lagi.
"Sesungguhnya, mungkin orang-orang Nasrani berhenti saja pergi ke gereja di hari Minggu, sehingga ahad menjadi lebih Islam lagi," ujar Gus Dur.
Dengan ceramah yang penuh lelucon itu, dia berhasil mengatasi ketegangan para pastor.
Kisah Gus Dur itu ditulis oleh Andree Feillard, salah satu penulis dalam buku berjudul "Gila Gus Dur". Buku tersebut diterbitkan oleh penerbit LKIS.
Orator ulung
Gus Dur adalah orator yang berbakat. Dia bisa tiba-tiba mengalihkan uraian yang kaya fakta-fakta yang dramatik ke anekdot yang penuh humor, dan kemudian kembali ke kesimpulan yang serius.
Ia pandai membuat lelucon terutama dalam bahasa Jawa. Ini seni yang merupakan keahliannya yang menonjol.
Duduk di atas podium, Gus Dur melanjutkan ceramahnya tentang birokratisasi, otokrasi Soeharto, dan politisasi agama. Gus Dur saat itu mengeluhkan label halal yang diinginkan MUI terhadap produk makanan.
Ia bertanya kenapa kita sudah bisa makan sejak dulu tanpa label halal, kini kita menuntutnya. Pun soal tuntutan MUI agar tidak ada peringatan Saint Valentin, karena dianggap hari besar Nasrani.
Sembari tertawa kecil, Gus Dur bertanya kepada para peserta seminar, ”Adakah di sini pastor yang merayakan hari Saint Valentin?"
(Baca: Cerita Fidel Castro yang 'Ngakak' Dengar Lelucon Gus Dur)
Sekali lagi ceramah Gus Dur itu memancing tertawa. Hari Saint Valentin dalam masyarakat tertentu dianggap sebagai hari cinta yang biasanya dirayakan oleh lelaki (suami atau pacar) dengan memberi bunga kepada yang dicintainya.
Hari itu sebenarnya tidak ada kaitannya dengan hari raya agama, tetapi unsur komersialnya lebih menonjol.
Dalam pemikirannya, Gus Dur selalu cenderung pada Islam yang lebih menekankan dimensi spiritual dan substansial dari pada dimensi formal dan ritual. Dia ziarah di kuburan orang tuanya atau para wali, tetapi dia tidak suka memaksakan pemahaman dan ritual tertentu kepada orang lain.
Dalam pengertian itu, dia dianggap mirip seperti Kiai Wahab Hasbullah yang selalu mengacu pada jalan keluar melalui fiqh di bawah prinsip, "mengapa mengambil fiqh yang berat kalau ada hukum fiqh yang ringan".
(Baca: Saat Gus Dur Jadi "Gelandangan" di Ibu Kota)
Gus Dur bahkan lebih jauh lagi, menekankan pada isi, dan kedalaman spirit, ketimbang penampilan yang bersifat kulit dan formal yang bisa menyembunyikan perbuatan yang tidak bermoral.
Semangat pemahaman Gus Dur yang seperti itu bukan hanya mengesankan tetapi menemukan titik temunya dengan pandangan para pastor di Malang itu.
Kemudian terlontar pertanyaan kepada Gus Dur dalam seminar tersebut, "Bagaimana kita bisa kembali kepada hari-hari persaudaraan, bebas dari manipulasi, bebas dari saling curiga?"
Gus Dur pun menjawab, "Silahkan diorganisir pertemuan antara para pastor dengan para ulama lokal. Acara itu pun ditutup dengan doa dan para pastor mendoakan Gus Dur secara khusus".
https://nasional.kompas.com/read/2017/09/07/21480341/autokritik-gus-dur-di-depan-200-pastor