Syafruddin mengajukan gugatan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004.
Ada beberapa pertimbangan hakim hingga memutuskan menolak gugatan Syafruddin.
Dalam pertimbangannya, hakim menolak dalil pihak Syafruddin soal penuntutan kasus tersebut telah daluwarsa.
Baca: Hakim Tolak Gugatan Praperadilan Syafruddin Temenggung
Pada surat perintah penyidikan, menurut Hakim, Syafruddin disangkakan melangar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Hakim menyebutkan, karena ancaman hukuman pasal tersebut pidana mati, seumur hidup atau 20 tahun penjara, maka sesuai Pasal 78 KUHP, masa daluwarsa penuntutan kasus yang menjerat Syafruddin adalah 18 tahun.
Masa ini terhitung satu hari setelah dilakukannya tindak pidana.
Tindak pidana yang diduga dilakukan Syafruddin, lanjut Hakim, yakni tanggal 26 April 2004. Maka, masa daluwarsa kasus itu yakni 27 April 2022.
Dalam hal ini, hakim sependapat dengan pernyataan Ahli Hukum Pidana Adnan Paslydja yang dihadirkan KPK.
"Sehingga petitum (dalil) pemohon pada poin 10 tersebut adalah tidak berdasarkan hukum dan harus ditolak," kata Hakim Effendi, di Ruang Sidang PN Jakarta Selatan, Rabu (2/8/2017).
Baca: Periksa Eks Kepala BPPN dalam Kasus BLBI, Apa yang Digali KPK?
Hakim juga menolak permintaan pihak Syafruddin bahwa UU Tipikor berlaku surut.
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan KPK telah dibentuk tahun 2002.
Dengan demikian, menurut hakim, UU Tipikor tidak berlaku surut karena tindak pidana yang diduga dilakukan Syafruddin tahun 2004.
"Sehingga permintaan pemohon pada poin 9 sepanjang UU Tipikor berlaku surut adalah tidak beralasan dan harus ditolak," ujar Hakim.
Penetapan tersangka sah
Terkait penetapan tersangka, hakim berpendapat bahwa prosedur penetapan tersangka terhadap Syafruddin sudah memenuhi syarat bukti permulaan yang cukup, yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.
Penilaian ini berdasarkan alat bukti yang disaDitolakmpaikan KPK.
Hakim menilai, KPK sudah memenuhi syarat ini dengan adanya keterangan saksi, ahli dari BPK, dan alat bukti surat.
"Sehingga penetapan tersangka terhadap diri pemohon telah sah dan berdasarkan hukum, sehingga petitium pemohon pada poin 2 permohonan, adalah tidak beralasan sehingga harus ditolak," ujar Hakim.
Dengan ditolaknya dalil utama Syafruddin soal keabsahan penetapan tersangka, maka permintaan Syafruddin terhadap dalil lainnya yang timbul akibat penetapan tersangka oleh KPK, ditolak seluruhnya.
Sebelumnya diberitakan, Hakim menolak gugatan praperadilan yang diajukan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung atas penetapannya sebagai tersangka dalam kasus pemberian Surat Keterangan Lunas.
Hal tersebut disampaikan Hakim Effendi Muchtar dalam sidang putusan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (2/8/2017).
"Mengadili, dalam pokok perkara menolak praperadilan yang diajukan pemohon (Syafiruddin) untuk seluruhnya," kata Effendi, di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu sore.
Dengan putusan hakim tersebut, artinya penetapan Syafruddin sebagai tersangka dinyatakan sah.
"Membebankan ke pemohon biaya perkara senilai nihil," ujar Hakim.
Dalam penyelidikan kasus BLBI, KPK menemukan adanya indikasi korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004.
SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
KPK menduga Syafrudin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara sekurangnya Rp 3,7 triliun.
Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, Sjamsul sudah menerima SKL dari BPPN, meski baru mengembalikan aset sebesar Rp 1,1 triliun, dari yang seharusnya Rp 4,8 triliun.
https://nasional.kompas.com/read/2017/08/02/19440521/apa-pertimbangan-hakim-tolak-praperadilan-tersangka-kasus-blbi-