JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengirimkan surat jawaban kepada Panitia Khusus Hak Angket DPR terkait permintaan Pansus untuk menghadirkan mantan Anggota Komisi II DPR, Miryam S Haryani.
Pada intinya, KPK tak mengizinkan Miryam diperiksa Pansus di DPR RI.
Anggota Pansus dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani berpendapat, seharusnya KPK menawarkan jalan tengah jika tak bisa mengizinkan Miryam datang ke rapat pansus.
Misalnya, dengan menawarkan akses pemeriksaan bagi anggota Pansus terhadap Miryam yang kini berstatus tahanan KPK.
Ia mencontohkan, pada kasus mantan Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar.
Saat Patrialis masih ditahan dalam proses penyidikan, KPK mengizinkan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa Patrialis dalam kaitan dugaan pelanggaran etik.
Lantas, mengapa Pansus tak diizinkan memeriksa Miryam, meski dilakukan di Gedung KPK?
Baca: Kapolri Tak Akan Panggil Paksa Miryam, Ini Kata Pansus Angket KPK
"MK diberikan izin untuk memeriksa pelanggaran etik dari Patrialis Akbar, jadi diberikan ruang," ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif saat dikonfirmasi, Selasa (20/6/2017).
Sementara, menurut Syarif, sangat berbeda sifatnya dengan pemeriksaan Pansus Angket yang dasar dan dokumennya tidak pernah diterima oleh KPK.
Apalagi, sejumlah ahli hukum tata negara dan ahli hukum administrasi negara telah menilai pembentukan Pansus Hak Angket cacat hukum.
"Lebih aneh lagi disebut pemeriksaan angket, tapi yang menandatangani surat adalah Wakil Ketua DPR," kata Syarif.
Baca: Pimpinan KPK: Kami Tidak Pernah Bermaksud Lecehkan DPR
Selain soal substansi pembentukan Pansus Hak Angket, menurut Syarif, tindakan memanggil tersangka/tahanan yang sedang diperiksa di KPK dapat diartikan sebagai obstruction of justice, atau menghalangi proses hukum.
Menurut Syarif, proses hukum tidak boleh dicampur aduk dengan proses politik.