JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Kabinet Pramono Anung setuju sebaiknya hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru tidak berasal dari parpol.
Hal ini lantaran dua hakim MK yang terjerat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebelumnya berasal dari parpol.
Akil Mochtar yang ditangkap KPK pada 2013 lalu merupakan mantan politisi Partai Golkar. Sementara Patrialis Akbar merupakan mantan politisi Partai Amanat Nasional.
"Sekali lagi apa yang terjadi di MK dari dua hakim MK itu kan mempunyai latar belakang partai atau politisi, sehingga calon usulan pengganti itu ada pemikiran supaya terbebas dari kepentingan tarik-menarik urusan politik adalah orang yang tidak pernah atau tidak terasosiasi dari parpol tertentu," kata Pramono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/2/2017).
Pramono menilai, dengan terbebas dari parpol, maka hakim MK bisa mengambil keputusan dengan mandiri, independen, dan profesional. Potensi hakim untuk terjerat kasus hukum pun semakin kecil.
"Tapi kita tidak mau melakukan dikotomi antara parpol dan nonparpol, mungkin yang perlu dilakukan adalah proses rekrutmennya yang lebih baik," tambah politisi PDI-P ini.
Presiden akan segera membentuk panitia seleksi hakim Mahkamah Konstitusi untuk mencari pengganti Patrialis Akbar. Patrialis ditangkap KPK setelah diduga menerima suap senilai 20.000 Dollar AS dan 200.000 Dollar Singapura, atau senilai Rp 2,15 miliar.
Pemberian dari pengusaha impor daging Basuki Hariman tersebut diduga agar Patrialis membantu mengabulkan gugatan uji materi yang sedang diproses di Mahkamah Konstitusi.
Perkara gugatan yang dimaksud yakni, uji materi nomor 129/puu/XII/2015 terkait Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Uji materi itu kini memasuki tahap akhir.