JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi III DPR RI tengah menggodok rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Umat Beragama.
Wakil Ketua Komisi III DPR Nasir Jamil mengatakan, bahkan RUU tersebut sudah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional 2015-2019.
"Kami masukkan rancangan UU Perlindungan Umat Beragama itu ke Prolegnas 2015-2019. Ini menyangkut posisi agama di tengah pemeluknya," ujar Nasir dalam diskusi di Jakarta, Kamis (24/11/2016).
Nasir mengatakan, saat ini belum ada undang-undang yang kuat melindungi umat beragama atas agamanya.
Meski orang tersebut tak menjalankan perintah agamanya, namun begitu agamanya dinodai, orang tersebut akan bereaksi.
"Itu naluri keagamaan seseorang meski kadang abai (dengan kewajiban). Kami nilai soal ini perlu diatur," kata Nasir.
Nasir mengatakan, belakangan muncul desakan untuk menghapuskan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Pasal ini pernah beberapa kali diuji materi ke Mahkamah Konstitusi, namun ditolak. Nasir menilai, undang-undang ini masih dibutuhkan di Indonesia untuk melindungi umat beragama.
"Kami berkeyakinan, Allah saja menjaga agama. Jadi kalau tidak dijaga maka hancur segalanya," kata Nasir.
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama sebelumnya menggelar simposium internasional bertajuk "Managing Diversity, Fostering Harmony" yang hasilnya akan menjadi masukan dalam pengayaan naskah akademik rancangan UU Perlindungan Umat Beragama.
(Baca: Susun RUU Perlindungan Umat Beragama, Kemenag Gelar Simposium Internasional)
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, ada lima isu penting terkait kehidupan umat beragama yang terjadi di Indonesia. Isu ini yang akan diangkat dalam RUU tersebut.
Pertama, terkait posisi penganut agama di luar enam agama yang diakui pemerintah secara resmi. Lukman mengatakan penduduk Indonesia menganut agama sesuai keinginannya.
Kedua, terkait kasus pendirian rumah ibadah yang masih banyak terjadi. Menurut Lukman, peraturan pemerintah mengenai hal itu tidak berjalan efektif dengan adanya kasus seputar rumah ibadah.
Ketiga, terkait kemunculan gerakan keagamaan yang kian meningkat. Lukman menuturkan, diperlukan kajian yang mendalam dalam merespon kemunculan gerakan keagamaan.
Keempat, adanya tindakan kekerasan terutama terhadap kelompok minoritas. Lukman mengatakan, selain mengabaikan HAM, kasus kekerasan itu menjadi wacana di dunia internasional sehingga menyebabkan Indonesia merasa terpojok.
Kelima, adanya penafsiran keagamaan tertentu yang mengancam kelompok agama dengan tafsir yang berbeda. Menurut Lukman, hal itu terkait dengan kekerasan terhadap kelompok minoritas.
(Baca juga: Kemenag: RUU Perlindungan Agama Rangkul Semua Umat Beragama)