JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Irman Gusman, menyampaikan nota keberatan atas surat dakwaan Jaksa penuntut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Eksepsi yang dibacakan tim penasehat hukum tersebut memuat beberapa hal terkait pelanggaran prosedur yang dilakukan penyidik KPK.
"Surat dakwaan tidak dapat diterima, karena mengandung cacat formal dan tidak sesuai dengan prosedur yang terdapat dalam undang-undang," ujar pengacara Irman, Maqdir Ismail di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (15/11/2016).
Menurut Maqdir, pada tahap penyidikan, Irman tidak didampingi oleh pengacara.
Penyidik KPK dinilai mengabaikan kewajiban Pasal 114 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam pasal tersebut, penyidik wajib memberikan hak tersangka untuk mendapat bantuan hukum, atau wajib didampingi pengacara.
(Baca: Pengacara Anggap Perkara Irman Gusman Seharusnya Ditangani Polisi)
Menurut Maqdir, Irman pernah dijemput petugas KPK untuk berobat.
Namun, sebelum ke rumah sakit, ia dibawa ke Gedung KPK untuk mengurus syarat administrasi.
Sesampainya di Gedung KPK, Irman dipaksa untuk diperiksa sebagai tersangka.
Padahal, sesuai Pasal 112 ayat 1 KUHAP, penyidik harus melakukan panggilan untuk pemeriksaan dalam tenggang waktu yang wajar.
"Walau Irman ditahan, ia harus dipanggil dengan tenggang waktu yang wajar, minimal 3 hari sebelum pemeriksaan. Waktu tersebut untuk bersiap-siap," kata Maqdir.
Selain itu, saat pemeriksaan dimulai, Irman tidak pernah diberi tahu apa yang disangkakan kepadanya.
Tim pengacara juga menilai penyidik KPK menghilangkan hak Irman untuk mendatangkan saksi atau ahli meringankan dalam tahap penyidikan.
Sesuai Pasal 65 KUHAP, tersangka diberikan hak untuk memanggil saksi atau ahli yang meringankan.
"Penyidik dengan sengaja menghilangkan hak untuk mempersiapkan pembelaan. Penyidik tidak memberikan kesempatan tersangka memberikan keterangan secara bebas dan didampimgi penasehat hukum," kata Maqdir.