JAKARTA, KOMPAS.com – Minimnya jumlah kuota haji disinyalir menjadi penyebab bagi segelintir masyarakat yang nekat pergi ke Tanah Suci dengan menggunakan paspor palsu melalui negara lain, salah satunya Filipina.
Namun, menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang menjadi penyebab minimnya kuota tersebut adalah adanya proses revitalisasi kawasan Masjidil Haram saat ini.
Menurut Kalla, jika revitalisasi Masjidil Haram rampung, maka kuota jemaah haji untuk Indonesia juga akan meningkat. Sehingga, rentang waktu untuk menunggu giliran menunaikan haji pun juga dapat dipangkas.
"Kalau seluruh pembangunan di sekitar Masjidil Haram selesai, kuota akan naik 50 persen jumlahnya jadi mungkin bisa ditekan sampai 10 tahun (waktu antre)," kata Kalla di Kantor Wapres, Senin (22/8/2016).
Saat ini, kata Kalla, dibutuhkan waktu sekitar 15 tahun bagi calon haji asal Jawa, untuk dapat pergi ke Tanah Suci sejak waktu ia mendaftar.
Bahkan, bagi mereka yang tinggal di luar Jawa, waktu untuk menunggu itu bisa mencapai 20 tahun.
"Karena itu banyak cara mereka lakukan di sana, misalnya, menjadi buruh bangunan dua tahun lalu naik haji," kata dia.
Kalla mengaku, masyarakat yang berminat naik haji cukup tinggi. Namun, karena adanya quota yang diberikan pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia, maka masyarakat juga harus sabar mengantre.
Petugas imigrasi di Bandara Manila, Filipina, sebelumnya mencegat 177 warga negara Indonesia yang akan naik haji. Para jemaah menggunakan paspor Filipina.
Mereka dicegah sebelum mereka naik ke pesawat, Jumat (19/8/2016) menuju Madinah, Arab Saudi.
Menurut kepala Imigrasi Filipina Jaime Morente, lima warga Filipina yang mendampingi jemaah Indonesia tersebut menuju tanah suci juga ditangkap.
Ia mengatakan, paspor yang diperoleh secara ilegal itu dilaporkan disediakan oleh para pendamping. Para jemaah asal Indonesia itu membayar mulai 6.000–10.000 dollar AS per orang menggunakan kuota haji yang diberikan Arab Saudi kepada Filipina.
Morente mengatakan, identitas jemaah Indonesia itu terungkap setelah didapati mereka tidak berbahasa Filipina.
Mereka kemudian mengaku sebagai warga negara Indonesia yang masuk ke Filipina secara terpisah sebagai turis.