JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyayangkan masih banyaknya kendala yang ditemui dalam pelaksanaan perlakuan khusus dan pemberian penghargaan untuk saksi pelaku yang bekerja sama atau yang dikenal dengan justice Collaborator (JC).
"Kendala tersebut menyebabkan orang yang berpeluang sebagai JC enggan mengungkapkan tindak pidana karena tidak ada keuntungan siginifikan dengan menjadi JC," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/6/2016).
Menurut Samendawai, dalam mengungkap tindak pidana luar biasa seperti korupsi, terorisme, dan narkoba, diperlukan upaya yang luar biasa. Kata dia, penetapan JC merupakan salah satu upaya terobosan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana luar biasa.
(Baca: Dikritik, Sikap Hakim yang Tolak Status "Justice Collaborator" Abdul Khoir)
"Oleh karenanya, adanya penolakan terhadap status JC, maupun dipersulitnya perlakuan khusus dan penghargaan untuk JC merupakan kemunduran dalam upaya pengungkapan tindak pidana," ucap Samendawai.
Samendawai mengatakan salah satu penetapan JC yang ditolak adalah Abdul Khoir. Abdul ditetapkan JC oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membantu pembongkaran tindak pidana yang dilakukannya.
Abdul didakwa telah menyuap beberapa anggota DPR Komisi V, diantaranya Damayanti Wisnu Putranti, Budi Suprianto, Andi Taufan Tiro, dan Musa Zainudin.
(Baca: Meninjau Ulang "Justice Collaborator")
Jaksa KPK menuntut Abdul 2,5 tahun penjara dan denda 200 juta rupiah. Namun, penetapan JC Abdul ditolak oleh hakim Tipikor. Abdul pun divonis 4 tahun penjara dan denda 200 juta rupiah.
Samendawai mengatakan JC yang ditangani oleh LPSK juga mendapat kendala dalam upaya memenuhi perlakuan khusus dan pemberian penghargaan. Misalnya, saat Kosasih Abbas meenjadi JC pada tindak pidana korupsi di Kementerian ESDM.
"Berkas Kosasih masih disatukannya dengan berkas pelaku utama. Maka, saat pelaku utama mengajukan kasasi dan hukumannya temyat diperberat, Kosasih juga mendapat pemberatan hukuman termasuk terkait uang pengganti," ujar Samendawai.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.