JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif mewanti-wanti Presiden Joko Widodo untuk memilih orang yang tepat untuk menjabat kepala Polri.
Menurut dia, ada kecenderungan nama-nama dalam bursa calon Kapolri telah ditunggangi muatan politis.
"Harus diperhitungkan internal polisi dan juga nanti ini jangan sampai kalau rebutan parpol-parpol. Itu yang saya tidak suka," ujar Syafii di Jakarta, Minggu (12/6/2016).
Syafii mengatakan, semestinya seorang Kapolri mengutamakan kepentingan negara dan loyal pada Presiden. Jika dikuasai kekuatan politik tertentu, pasti akan rusak penegakan hukum di Indonesia.
(baca: Ini Profil Tujuh Jenderal Bintang Tiga yang Masuk Bursa Calon Kapolri)
"Pertarungan kepentingan banyak sekali. Polisi tidak boleh jadi partisan," kata dia.
Jokowi diminta mencermati betul rekam jejak para calon. Menurut Syafii, sulit mencari sosok yang berintegritas dan 100 persen bersih secara hukum dan beban masa lalu.
"Memang tidak mudah. Pesiden harus tegas, lihat komitmennya kepada tugas dan kemudian orang ini lebih mementingkan negara atau tidak," kata Syafii.
(baca: "Jokowi Jangan Pilih Kapolri yang Kontroversial dan Menuai Polemik")
Syafii tidak ingin terjadi lagi polemik seperti saat Komjen Budi Gunawan hendak dijadikan Kapolri. Ia tersandung masalah hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi dan membuat dua instansi penegak hukum itu bersitegang.
"Kalau tidak, repot. Apalagi kalau ada rekening gendut lah, berkelahi dengan KPK lah, menghabiskan energi," lanjut dia.
Saat pemilihan kepala Polri pada Januari 2015, Jokowi mengusulkan Budi Gunawan kepada DPR. Namun, Budi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
(Baca: Perpanjangan Masa Jabatan Kapolri Dinilai Ganggu Regenerasi Polri)
Jokowi pun akhirnya membatalkan pelantikan Budi meski yang bersangkutan sudah lolos uji kepatutan dan kelayakan di DPR dan memenangi gugatan di praperadilan.
Akhirnya Jokowi menunjuk Badrodin Haiti sebagai Kapolri dan internal Polri memutuskan Budi Gunawan menjadi Wakapolri.