JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo akhirnya memutuskan untuk melakukan revisi atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dengan revisi itu, pemerintah ingin memiliki dasar hukum yang lengkap dalam hal pencegahan dan penanganan terorisme.
Beberapa poin yang diusulkan untuk diubah adalah pencabutan status kewarganegaraan dan bagi warga negara Indonesia yang pernah mengikuti latihan terorisme.
Ada pula poin penambahan masa penahanan untuk keperluan pemeriksaan terduga teroris dan pemberian persetujuan alat bukti terkait dengan terorisme yang semula harus diberikan ketua pengadilan negeri menjadi oleh hakim pengadilan.
Unsur lain seperti deradikalisasi, kekerasan, pendidikan, dan kesenjangan juga menjadi bahan pertimbangan saat pembahasan.
Pemerintah menyatakan, langkah revisi ini diperlukan karena selama ini aparat penegak hukum kesulitan menangkap pelaku teror jika mereka nyata-nyata belum melakukan tindakan teror.
Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Jamil, mengatakan, revisi UU itu mendesak dilakukan mengingat gerakan teroris yang semakin terbuka saat ini.
(Baca Anggota F-PKS: Teroris Sekarang Lebih Terbuka)
Namun, tidak semua pihak setuju dengan rencana pemerintah tersebut.
Banyak yang menilai usaha pemerintah terkesan terburu-buru dan tanpa adanya kajian yang menyeluruh.
Pakar hukum Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa ia tidak melihat adanya kebutuhan untuk melakukan revisi terhadap UU Anti-terorisme.
"Revisi undang-undang mungkin akan memberikan efek jangka pendek. Tapi itu tidak akan pernah menyelesaikan persoalan," ujar Todung saat ditemui di kantor Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jumat (15/1/2016).
Sejauh pengamatan yang ia lakukan, kasus terorisme yang muncul justru timbul karena lemahnya koordinasi antara aparat-aparat keamanan, seperti kepolisian, tentara dan intelijen.
Oleh karena itu, hal krusial yang harus segera dilakukan sebenarnya adalah mengoptimalkan sumber daya yang sudah ada dalam bidang intelijen untuk mendeteksi bahaya-bahaya ancaman teror.
Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq pun berpendapat bahwa kasus terorisme yang terjadi merupakan akibat dari kurang optimalnya instrumen yang ada.