JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Buruh Migran Indonesia mendesak pemerintah untuk segera menghapuskan hukuman mati, atau setidaknya melakukan moratorium terhadap eksekusi mati. Menurut Koalisi, penghapusan hukuman mati ini akan menjadi kekuatan diplomatik ekstra bagi pemerintah dalam membebaskan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati.
"Ketika pemerintah masih berlakukan hukuman mati, di samping menegaskan lemahnya komitmen negara dalam penegakkan HAM, sekaligus melemahkan positioning pemerintah dalam menyelamatkan buruh migran yang terancam hukuman mati di luar negeri," kata Direktur Migrant Care Anis Hidayah dalam jumpa pers di Jakarta, Sabtu (10/10/2015).
Koalisi Masyarakat Sipil untuk perlindungan Buruh Migran terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat di antaranya Migrant Care, Jaringan Buruh Migran, HIVOS, Indonesian Migrant Workers Union Hongkong, PPK, Human Right Working Group, dan LBHI Jakarta.
Koalisi memandang adanya keterkaitan antara kebijakan pemerintah terkait hukuman mati dengan posisi pemerintah di dunia internasional dalam memperjuangkan nasib buruh migran yang terancam hukuman mati.
Berdasarkan data Migrant Care, ada 281 buruh migran yang terancam hukuman mati di berbagai negara. Paling banyak mereka berada di Malaysia, yakni 212 orang, kemudian di Arab Saudi sebanyak 36 orang, 28 di China, 1 orang di Singapura, 1 di Qatar, 1 di Uni Eropa, dan 1 orang di Taiwan.
"Dari data tersebut, 59 orang di antaranya telah dijatuhi vonis mati, dan 219 orang dalam proses hukum," tambah Anis.
Perwakilan Jaringan Buruh Migran, Nelson meminta Presiden Joko Widodo segera mengumumkan secara resmi moratorium hukuman mati. Menurut dia, pernah diterapkan Pakistan beberapa waktu lalu.
"Pakistan secara resmi melakkan moratorium dan seharusnya Presiden RI, Jokowi melakukan hal yang sama. Hentikan sampai waktu yang tidak ditentukan untuk mendukung penyelamatan WNI di luar negeri," kata Nelson.
Selanjutnya, pemerintah diminta melakukan evaluasi apakah proses pembelaan terhadap buruh migran yang terkena kasus hukum di luar negeri sudah maksimal. Pemerintah diminta memastikan adanya pendampingan hukum kepada buruh migran dan mengajukan upaya hukum hingga yang terakhir dalam membela para buruh migran.
Di samping itu, Nelson menilai Presiden harus gencar melakukan lobi politik dengan pimpinan negara lain.
"Presiden harus memimpin lobi-lobi langsung kepada kepala negara untuk mengubah, meminta pengampunan sebagai sahabat karena Indonesia adalah sahabat bagi negara yang ada hubungan diplomatiknya," ujar Nelson.
Revisi UU No 39 Tahun 2004
Dalam konferensi pers tersebut, Koalisi juga meminta para legislator memperhatikan nasib buruh migran yang terancam hukuman mati di luar negeri ketika menggodok revisi Undang-Undang No 39 tahun2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. Nelson menilai, secara garis besar draf UU tersebut masih menitik beratkan pada peranan swasta dalam menjamin perlindungan buruh migran.
"Negara seolah melepaskan diri dari kewajibannya. Hal yang menarik dari rancangan yang diperbarui itu, jika seandainya buruh migran ke luar negeri dan memalsukan dokumen, akan dikenakan pidana, tetapi jika penyalur jasa TKI swasta melakukan hal tersebut, tidak ada sanksi pidananya," tutur Nelson.
Selain itu, Koalisi meminta pemerintah segera merespon khusus modus pertemuan jejaring berdagangan orang dengan jaringan narkoba yang menjadikan buruh migran sebagai korban serta terancam hukuman mati di luar negeri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.