JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan Arwani Thomafi menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkait pasangan calon tunggal dalam pilkada sebagai sebuah bentuk kemunduran demokrasi. Semangat kontestasi yang dibangun melalui undang-undang tentang pilkada kini direduksi oleh MK.
"Minusnya adalah terjadinya kemunduran dalam demokratisasi pilkada. Tidak ada lagi kontestasi calon," kata Arwani saat dihubungi, Selasa (29/9/2015).
Anggota Komisi II ini memperkirakan, dengan adanya putusan tersebut, jumlah pasangan calon tunggal saat pilkada diperkirakan akan semakin banyak. Tahun ini, ada tiga daerah yang memiliki calon tunggal kepala daerah, yaitu Kabupaten Blitar di Jawa Timur, Tasikmalaya di Jawa Barat, dan Timor Tengah Utara di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pilkada berikutnya akan diadakan pada 2017 dan 2019.
"Semakin banyak pihak berusaha untuk mengondisikan agar hanya terjadi calom tunggal saja. Salah satunya dengan modal kekuatan logistik yang besar," ujarnya.
Meski demikian, Arwani menghormati putusan MK tersebut karena sifatnya yang final dan mengikat.
Dalam sidang putusan pada Selasa kemarin, MK menetapkan norma baru dalam mekanisme pemilihan kepala daerah dengan satu pasangan calon (calon tunggal). MK mengatur bahwa pemilihan calon tunggal dilakukan menggunakan kolom "setuju" dan "tidak setuju".
Putusan itu disampaikan atas gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, DPR, DPD, dan DPRD. Pemohon dalam uji materi ini, yaitu Effendi Gazali, meminta agar MK menentukan mekanisme baru dalam pemilihan kepala daerah bagi calon tunggal. Ia meminta agar MK mengatur bahwa pemilihan calon tunggal menggunakan kotak kosong dalam surat suara.
Meski mengabulkan permohonan tentang pelaksanaan pilkada dengan calon tunggal, hakim MK tidak sependapat dengan mekanisme bumbung kosong yang diajukan pemohon. "Sebab, pemilihan satu paslon seharusnya upaya terakhir setelah pencalonan dilakukan dengan sungguh-sungguh," ujar hakim Suhartoyo.
Suhartoyo mengatakan, pemilihan melalui kolom "setuju" dan "tidak setuju" bertujuan memberikan hak masyarakat untuk memilih calon kepala daerahnya sendiri. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam demokrasi, masyarakat mendapat hak untuk mengikuti pemilihan, termasuk untuk memilih menunda pemilihan. Menurut Suhartoyo, apabila yang memilih kolom "setuju" lebih banyak, maka calon tunggal itu ditetapkan sebagai kepala daerah. Tetapi, jika lebih banyak yang memilih "tidak setuju", maka pelaksanaan pilkada di daerah tersebut akan ditunda hingga pilkada pada periode selanjutnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.