JAKARTA, KOMPAS.com — Uji materi atas sejumlah pasal di dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Mahkamah Konstitusi menjadi sorotan. Sebab, jika wewenang Polri di dalam UU tersebut direduksi, hal itu akan berpengaruh pada salah satu sumber pendanaan Polri.
Hal itu diungkapkan anggota Komisi III, Arsul Sani, saat rapat kerja dengan Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti, Kamis (17/9/2015). Dalam rapat tersebut, Badrodin mengusulkan tambahan anggaran Rp 20,099 triliun di dalam Rancangan APBN 2016.
"Kita anggaplah tidak ada pasal yang secara konstitusional bermasalah. Tapi, MK ini kan suka beri keputusan yang wah," kata Arsul di Kompleks Parlemen.
Arsul mengatakan, di dalam R-APBN 2016, Kementerian Keuangan mengajukan pagu anggaran sebesar Rp 67,232 triliun untuk Polri. Dari jumlah tersebut, sebesar 13,52 persen di antaranya atau Rp 9,092 triliun berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Jika merujuk pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP, ada 12 jenis penerimaan PNBP untuk Polri. Penerimaan itu meliputi penerbitan SIM, STNK, TNKB, BPKB, SKCK, dan kartu sidik jari. Kemudian, ada juga penerbitan surat tanda coba kendaraan, surat mutasi kendaraan bermotor, surat izin senjata api dan bahan peledak, surat keterangan lapor diri, denda pelanggaran lalu lintas, dan pelayanan ujian keterampilan mengemudi melalui simulator.
"Seandainya uji materi dikabulkan sehingga wewenang Polri untuk terbitkan SIM dan STNK dicabut, apa pengaruhnya terhadap anggaran Polri?" kata Arsul.
Sebelumnya, MK diminta membatalkan kewenangan Kepolisian Negara RI untuk meregistrasi dan mengidentifikasi kendaraan bermotor serta kewenangan menerbitkan surat izin mengemudi. Hal itu tidak sesuai dengan maksud konstitusi karena tugas utama Polri adalah melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Polri dinilai tidak seharusnya mengurus persoalan teknis seperti itu. (Baca: Kewenangan Polri Terbitkan SIM Digugat di MK)
Permohonan diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polri (Koreksi) yang terdiri dari Alissa Wahid yang mewakili jaringan Gusdurian, Malang Corruption Watch, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang diwakili Alvon Kurnia Palma, dan Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah yang diwakili Dahnil Anzar. S
Sidang perdana digelar pada Kamis (6/8/2015) dan dipimpin hakim konstitusi Manahan Sitompul. Mereka mempersoalkan Pasal 15 ayat (2) Huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Pasal 64 ayat (4) dan (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan (3), Pasal 72 ayat (1) dan (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2), dan Pasal 88 UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal-pasal ini memang menjadi dasar polisi menyelenggarakan registrasi, identifikasi, dan penerbitan SIM. Namun, sejumlah pasal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945.
Menanggapi ini, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigjen (Pol) Agus Rianto mempertanyakan mengapa wewenang Polri tersebut digugat. Namun, Agus mengakui, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Polri dalam hal registrasi, identifikasi kendaraan bermotor, serta menerbitkan surat izin mengemudi memang belum sempurna. (Baca: Kewenangan Terbitkan SIM Digugat, Ini Tanggapan Polri)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.