Selain itu, kata Adrianus, dana aspirasi itu adalah sesuatu yang tidak logis dan tidak sesuai dengan sistem perencanaan pembangunan bangsa ini. Dengan demikian, DPD RI menolak usulan dana aspirasi tersebut.
Senator asal Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu pun, tidak setuju dengan alasan bahwa pengajuan dana tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban anggota dewan atas aspirasi yang diterima dari masyarakat.
“Sebagai wakil rakyat, tugas kita adalah menerima aspirasi masyarakat. Aspirasi itu kemudian dibawa ke tingkat pusat dan dikawal sehingga terbentuk dalam program. Program itulah yang menjadi pegangan anggota DPR atau DPD, untuk menjawab aspirasi daerahnya, bukan malah meminta dana Rp 20 miliar tiap tahun,” tegas Adrianus.
Adrianus juga tidak setuju anggapan bahwa usulan dana aspirasi itu sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD atau MD3. Menurutnya, sistem perencanaan pembangunan bukan mengacu ke UU MD3, tetapi ke UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Dalam UU SPPN, mekanisme perencanaan pembangunan adalah melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Forum ini sebagai ajang atau tempat berkumpulnya semua aspirasi. Musrenbang dimulai dari tingkat desa hingga tingkat nasional.
Adrianus mengatakan, pengusulan program beserta anggarannya dilakukan pada forum tersebut, bukan di luar mekanisme Musrenbang seperti dana aspirasi yang diajukan anggota DPR.
Maka itu, Adrianus berharap pemerintah menolak usulan dan aspirasi itu. Ia pun meminta pemerintah membuat sistem baru dalam perencanaan pembangunan bangsa ini yaitu memakai sistem Information Technology (IT) seperti e-budgeting, e-processing, e-planning, dan berbagai fasilitas lainnya.