Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DPP PPP versi Romahurmuziy Siapkan Sanksi bagi yang Mendukung Revisi UU Pilkada

Kompas.com - 17/05/2015, 14:52 WIB
Icha Rastika

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan versi Muuktamar Surabaya memerintahkan kepada anggota fraksi PPP di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat untuk menolak rencana revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dan Undang-Undang Partai Politik. Bagi anggota fraksi yang melanggar, DPP PPP tak segan memberikan sanksi.

"Sesuai AD/ART, kalau enggak patut, tentu ada sanksi sesuai dengan kesalahannya. Bahkan kalau kesalahannya berat itu sampai PAW (pergantian antar waktu)" kata Ketua DPP Bidang Politik dan Pemerintahan Rusli Effendi di Jakarta, Minggu (17/5/2015).

PPP versi Muktamar Surabaya merasa berwenang untuk melakukan pemecatan kader di DPR. Mereka beralasan bahwa kepengurusan versi muktamar Surabaya merupakan kepengurusan yang sah berdasarkan surat keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

"Hak PAW itu adalah kewenangan DPP yang disahkan Menkumham. Persoalan di DPR masih ada kompromi politik, bagaimana pun asas legalitas yang menjadi masalah utama," ujar Wakil Sekjen PPP Bidang Komunikasi dan Hubungan Media Ahmad Baiquni.

Terkait dengan rencana revisi, DPP PPP menilai revisi undang-undang tersebut lebih didasari pada kepentingan politik untuk mengakomodasi kelompok tertentu.

Di samping itu, PPP yang dipimpin Romahurmuziy ini menilai bukan waktu yang tepat bagi DPR untuk melakukan revisi UU Pilkada dan UU Parpol sekarang. Terlebih, UU Pilkada belum sama sekali dilaksanakan.

DPR dimintanya fokus membahas rancangan undang-undang yang masuk program legislasi nasional 2015. "Hal ini lebih menonjolkan syahwat dan hasrat kekuasaan sehingga mengabaikan kepentingan yang lebih besar," sambung Rusli.

DPP PPP juga menilai lebih baik jika dalam masa reses sekarang ini, anggota DPR menyerap sebanyak-banyaknya aspirasi masyarakat di wilayah pemilihan masing-masing. Rusli pun menyampaikan bahwa pihaknya terus berkomunikasi dengan partai politik lainnya yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat, yakni koalisi pendukung Pemerintah.

PPP versi Muktamar Surabaya ini juga sudah menyampaikan masukannya kepada pemerintah. "Kita sosialisasikan, sikap kita sudah jelas menolak. Soal dengan Pemerintah, sifatnya komunikasi," kata dia.

Wacana revisi UU Parpol dan UU Pilkada ini muncul setelah KPU menyetujui draf peraturan KPU mengenai parpol yang bersengketa. KPU memberikan syarat untuk parpol yang bersengketa di pengadilan harus sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau sudah islah sebelum pendaftaran pilkada. 

Pada rapat antara pimpinan DPR, Komisi II DPR, KPU, dan Kemendagri, Senin (4/5/2015) lalu, DPR meminta KPU untuk menyertakan putusan sementara pengadilan sebagai syarat untuk mengikuti pilkada. (Baca: PDI-P Tolak Revisi UU Jika untuk Layani Golkar-PPP yang Berkelahi)

Namun, KPU menolak karena tidak ada payung hukum yang mengatur hal itu. Akhirnya, DPR sepakat untuk merevisi UU Parpol dan UU Pilkada untuk menciptakan payung hukum baru

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Berkaca Kasus Brigadir RAT, Kompolnas Minta Polri Evaluasi Penugasan Tak Sesuai Prosedur

Berkaca Kasus Brigadir RAT, Kompolnas Minta Polri Evaluasi Penugasan Tak Sesuai Prosedur

Nasional
Hakim MK Singgung Timnas di Sidang Pileg: Kalau Semangat Kayak Gini, Kita Enggak Kalah 2-1

Hakim MK Singgung Timnas di Sidang Pileg: Kalau Semangat Kayak Gini, Kita Enggak Kalah 2-1

Nasional
Caleg PDI-P Hadiri Sidang Sengketa Pileg secara Daring karena Bandara Sam Ratulangi Ditutup

Caleg PDI-P Hadiri Sidang Sengketa Pileg secara Daring karena Bandara Sam Ratulangi Ditutup

Nasional
Ketum PGI: 17 Kali Jokowi ke Papua, tapi Hanya Bertemu Pihak Pro Jakarta

Ketum PGI: 17 Kali Jokowi ke Papua, tapi Hanya Bertemu Pihak Pro Jakarta

Nasional
Kasus Brigadir RAT, Beda Keterangan Keluarga dan Polisi, Atasan Harus Diperiksa

Kasus Brigadir RAT, Beda Keterangan Keluarga dan Polisi, Atasan Harus Diperiksa

Nasional
KPK Ancam Pidana Pihak yang Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

KPK Ancam Pidana Pihak yang Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Nasional
195.917 Visa Jemaah Haji Indonesia Sudah Terbit

195.917 Visa Jemaah Haji Indonesia Sudah Terbit

Nasional
Sukseskan Perhelatan 10th World Water Forum, BNPT Adakan Asesmen dan Sosialisasi Perlindungan Objek Vital di Bali

Sukseskan Perhelatan 10th World Water Forum, BNPT Adakan Asesmen dan Sosialisasi Perlindungan Objek Vital di Bali

Nasional
Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Nasional
Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Semua Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Semua Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Nasional
Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Nasional
Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Nasional
PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

Nasional
Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Nasional
Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com