Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merapat ke KPK, Para Pakar Hukum Batal Daftarkan Uji Materi UU Kepolisian ke MK

Kompas.com - 23/01/2015, 16:57 WIB
Fathur Rochman

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah pakar hukum, yaitu Denny Indrayana, Zainal Arifin Mochtar, dan Sadli Isra batal mendaftarkan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian ke Mahkamah Konstitusi hari ini. Ketiganya lebih memilih merapat ke Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi untuk bergabung dalam aksi yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi terkait penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh Bareskrim Mabes Polri.

"Tidak jadi hari ini, teman-teman semua berkumpul di KPK. Jadi, sepertinya baru didaftarkan ke MK pada Senin," ujar Zainal Arifin Mochtar, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (23/1/2015).

Sedianya, ketiganya akan mendaftarkan gugatan tersebut siang ini sekitar pukul 13.00 WIB. Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini mengatakan, alasan pengajuan uji materi terhadap UU Kepolisian ke MK karena saat ini terjadi parliament heavy, di mana setiap pemilihan pejabat negara harus melalui persetujuan DPR, termasuk pemilihan kepala Polri.

Padahal, kata dia, presiden memiliki hak prerogatif untuk memilih pejabat negara, termasuk kepala Polri. Parliament heavy, lanjut Zainal, terjadi pasca-reformasi, ketika rakyat Indonesia terlalu marah terhadap Presiden Soeharto sehingga kewenangan Soeharto dilucuti dan diserahkan sepenuhnya kepada DPR. Namun, saat ini, Zainal mengatakan hal tersebut "kebablasan" sehingga sistem presidensial yang seharusnya executive heavy kini justru menjadi parliament heavy.

"Sekarang kan jadinya parliament heavy. Sistem presidensial memberikan ke parlemen. Sekarang pemilihan pejabat negara kan lewat DPR semua," kata Zainal.

Pasal yang rencananya akan diuji materi adalah Pasal 11 ayat 1 UU No 2 Tahun 2002 yang mengatur pengangkatan dan pemberhentian kepala Polri oleh Presiden dilakukan atas persetujuan DPR. Pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar".

"Nah ini yang ingin kami kembalikan di mana hak prerogatif presiden diperkuat. Tidak harus lagi lewat DPR. Salah satunya pemilihan kepala Polri," kata Zainal.

Isu mengenai pergantian kepala Polri menjadi polemik saat Presiden Jokowi mengajukan calon tunggal, yaitu Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Beberapa hari setelah Jokowi mengajukan nama Budi Gunawan ke DPR, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi.

Akan tetapi, status tersangka Budi tak menghalangi DPR untuk menyatakan persetujuannya atas pencalonan Budi sebagai kepala Polri. Komisi III DPR secara aklamasi menyatakan setuju atas calon yang diajukan Presiden Jokowi. Namun, karena tekanan dan penolakan publik, Jokowi menunda pelantikan Budi sebagai kepala Polri.

Hingga hari ini, Presiden belum memutuskan apakah akan tetap melantik Budi atau mengajukan calon lainnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com