JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi akan bertemu dengan pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk membahas penolakan organisasi profesi tersebut terhadap penerapan pasal aborsi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
"Hari Senin kita akan bertemu lagi. Secara pribadi saya sudah menelpon Ketua IDI dan dia sudah mengerti. Tapi nanti akan kita sosialisasikan kepada IDI dan seluruh stake holder. Yang jelas ini adalah amanat undang-undang," ujar Nafsiah ketika ditemui usai pelantikan Untung Suseno Sutarjo sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan di Jakarta, Jumat (29/8/2014), seperti dikutip Antara.
Sebelumnya, pada beberapa kesempatan, IDI menyatakan menolak melakukan aborsi karena bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran. Sedangkan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi mengizinkan korban pemerkosaan untuk melakukan aborsi jika ternyata hamil, meskipun kehamilannya tidak mengancam kesehatan ibu maupun janin.
Menteri Kesehatan menjelaskan, penerapan Peraturan Pemerintah tersebut masih membutuhkan sosialisasi yang luas dan pelaksanaan sosialisasi peraturan akan dibahas dalam pertemuan dengan IDI yang dijadwalkan tanggal 1 September.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan juga telah menekankan bahwa IDI tidak seharusnya menyatakan penolakan karena aborsi bagi korban perkosaan itu merupakan amanah UU Kesehatan dan telah melalui pembahasan bersama sebelum ditetapkan.
Pembahasan bersama juga sudah dilakukan dengan pemuka agama, seperti dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memperbolehkan aborsi dilakukan sebelum usia kehamilan 40 hari.
"Itu amanah UU, masa dia (IDI) mau melawan itu. Itu bukan keputusan saya, jadi harus dilaksanakan," kata Nafsiah.
Dia menjelaskan, pilihan untuk melakukan aborsi bagi korban pemerkosaan adalah sebagai upaya untuk menghormati hak asasi perempuan korban kekerasan seksual.
"Perkosaan itu kekerasan seksual. Sekarang sudah ada tim terpadu untuk penanganannya, tapi baru sampai kepada penanganan korban. Tapi kalau sampai hamil, siapa yang harus bertanggungjawab?" ujarnya.
Ia menyebut, pemaksanaan kepada korban perkosaan untuk melanjutkan kehamilan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi sang korban dan seakan-akan memberikan hukuman tambahan kepada korban perkosaan untuk hamil dan melahirkan.
Meski demikian, menurut Peraturan Pemerintah, jika korban perkosaan menolak aborsi, tetapi tidak ingin membesarkan sendiri bayi yang dikandung, maka anaknya dapat diserahkan untuk menjadi tanggungan pemerintah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.