KOMPAS.com -
BELASAN wajah baru menduduki kursi-kursi wakil rakyat di Ruang Komisi III DPR di Jakarta, Selasa (4/2). Walau bukan ”tangan kanan” Tuhan, hari itu, mereka berwenang menyetujui atau tidak tiga calon hakim agung atau ”wakil Tuhan” yang diusulkan Komisi Yudisial.

Wajah-wajah baru itu pun dibutuhkan supaya rapat kuorum sehingga keputusan dapat diambil. Ini karena banyak anggota Komisi III yang tak hadir dengan beragam alasan, seperti masih di daerah pemilihan (dapil). Ini karena pemilu tinggal dua bulan lagi sehingga konstituen harus (kembali) disapa.

Tidak dipersoalkan, apakah anggota Dewan yang ”dipinjam” dari komisi lain itu memahami substansi masalah yang hendak diputuskan? Tidak pula dikritik apakah para ”pemain pengganti” itu juga hadir dalam uji kelayakan dan kepatutan tiga calon hakim tersebut?

Ketika musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, suara dari para wakil rakyat itu harus diberikan dalam mekanisme pemungutan suara (voting).

Voting pun berlangsung as business as usual. Kondisi yang bertolak belakang dengan kata-kata mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton, ”voting is the most precious right of every citizen, and we have a moral obligation to ensure the integrity of our voting process.” Pemungutan suara adalah hak paling berharga bagi setiap warga negara, dan kita punya tanggung jawab moral untuk memastikan integritas pemungutan suara.

Di manakah letak tanggung jawab moral? Mana yang namanya integritas?

Justru dalam voting tempo hari, proses memasukkan surat ke kotak suara seperti menjadi sebuah atraksi. Selalu disebutkan nama anggota Dewan yang memberikan suara, ditambah keterangan asal dapilnya. ”Senyum sedikit, Pak. Angkat kedua tangan, Pak.” Lampu-lampu kilat pun menyambar, kamera demi kamera mengabadikannya. ”Nanti foto jangan lupa ditebus,” celetuk seorang anggota DPR, disambut gelak tawa.

Pemungutan suara memang jadi semarak, tetapi menghamburkan jam-jam produktif. Tak ada perdebatan terkait layak-tidaknya seorang calon hakim agung mendapatkan persetujuan atau sebaliknya penolakan.

Inilah voting menjelang pemilu. Inilah proses demokrasi semu, yang berlangsung ketika ruang-ruang di gedung rakyat lebih banyak dalam kondisi kosong-melompong.

Kosong-melompongnya ruang di DPR terkonfirmasi pada Rabu (5/2). Rapat panja terkait RUU bantuan hukum timbal balik masalah hukum pidana Indonesia dengan Korea Selatan dan India hanya dihadiri kurang dari 10 orang.

Salahkah wakil rakyat yang tak menghadiri rapat atau acara lain di DPR karena sibuk turun di dapil, seperti yang belakangan sering disampaikan? Belum tentu. Kerap diargumentasikan, ke dapil juga untuk menyerap aspirasi rakyat.

Wakil rakyat mungkin memang selalu punya alasan agar tak pernah salah. Jika ada persoalan, rakyatlah yang selalu dipersalahkan. (Haryo Damardono)