Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beda Pendapat, Hakim Maria Farida Tolak Pemilu Serentak

Kompas.com - 23/01/2014, 17:28 WIB
Ihsanuddin

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Pendapat hakim konstitusi tidak bulat dalam memutus uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati berpendapat berbeda (dissenting opinion), yakni menolak seluruh gugatan.

Dalam pendapatnya, Maria tetap berpegang pada putusan MK dalam pengujian Pasal 3 Ayat (5) UU 42/2008 yang dikeluarkan pada Februari 2009. Saat itu, MK memutuskan bahwa ayat tersebut yang berbunyi "Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD" adalah konstitusional.

Ketika itu, MK berpendapat, pengalaman yang telah berjalan adalah pilpres dilaksanakan setelah pileg karena presiden dan wakil presiden dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai Pasal 3 Ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, pemilu DPR dan DPD didahulukan untuk dapat dibentuk MPR.

Menurut Maria, secara delegatif, UUD 1945 telah menyerahkan kewenangan kepada pembentuk UU (DPR dan presiden) untuk mengatur tata cara pelaksanaan pilpres serta ketentuan lebih lanjut mengenai pemilu. Dengan demikian, menjadi kebijakan hukum terbuka pembentuk UU untuk merumuskan mekanisme terbaik tata cara pemilu, termasuk dalam penentuan waktu antarsatu pemilihan dengan pemilihan yang lain.

"Pelimpahan kewenangan secara delegatif kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur tata cara pelaksanaan pilpres, serta ketentuan lebih lanjut mengenai pemilu memang perlu dilaksanakan karena terdapat hal-hal yang tidak dapat dirumuskan secara langsung oleh UUD 1945 karena sifatnya yang mudah untuk berubah atau bersifat terlalu teknis," kata Maria dalam putusan.

Maria menambahkan, aturan presidential threshold yang diatur dalam Pasal 9 UU 42/2008 juga merupakan kebijakan hukum terbuka yang pada prinsipnya tidak terkait dengan pengaturan serentak atau tidaknya pemilu. Bila pembentuk UU menginginkan pemilu dilaksanakan serentak, maka presidential threshold tetap dapat diterapkan. Sebaliknya, threshold tersebut juga dapat dihilangkan bila presiden dan DPR menghendakinya.

Untuk diketahui, Pasal 9 tersebut berbunyi, "Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR".

Dalam putusan yang dibacakan di Gedung MK, Kamis (23/1/2014), MK berpendapat bahwa putusan tahun 2009 harus dimaknai sebagai pilihan penafsiran Mahkamah atas ketentuan konstitusi yang sesuai dengan konteks pada saat putusan tersebut dijatuhkan.

Adapun terkait teknis pengambilan sumpah, menurut MK, berdasarkan penalaran yang wajar dan praktik ketetanegaraan, maka pengucapan sumpah anggota DPR dan DPD tetap lebih dahulu dilaksanakan. Setelah itu, pengambilan sumpah presiden dan wakil presiden di hadapan MPR.

"Jadi, penyelenggaraan pilpres dan pemilu anggota lembaga perwakilan, baik secara serentak maupun tidak serentak, tidaklah mengubah agenda pengucapan sumpah presiden dan wakil presiden sebagaimana dilaksanakan selama ini," demikian putusan MK.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Nasional
Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Nasional
Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Nasional
Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com